Beranda Dasar Islam Hadits Arti dari Pernyataan “Muttafaqun ‘Alaihi”

Arti dari Pernyataan “Muttafaqun ‘Alaihi”

www.theatlantic.com

Jika membaca hadits pada sebuah pokok permasalahan atau tulisan sering kita mendengar kalimat muttafaqun ‘alaihi. Apa itu muttafaqun ‘alaihi?

Imam Bukhari dan Muslim tidak pernah menjelaskan suatu isyarat dari syarat-syaratnya atau memaparkan tambahan dari syarat-syarat yang disepakati atau keshahihan haditsnya. Namun, para ulama yang giat melakukan pengkajian, penulusuran dan penelaahan terhadap uslub-uslub keduanya menemukan apa yang mereka prediksi sebagai syarat-syarat keduanya, atau merupakan syarat salah satu diantara keduanya.

Sedikit membahas tentang uslub. Makna uslub ialah gaya bahasa yang dipakai oleh seseorang untuk menuangkan pokok-pokok pikiran dan perasaannya melalui untaian kata dan ditujukan kepada para pembaca dan pendengar.

Dalam kasus bahasa Arab, kajian uslub ada dalam nahwu (sintaksis). Subtansi pembahasan uslub berkisar kepada pembahasan kalimat, juga merupakan wilayah nahwu, pembahasan uslub tidak dimasukkan dalam pembahasan struktur kalimat secara umum, namun diletakkan pada bab tersendiri. Contoh, bab al-Asalib al-nahwiyah. Berdasarkan kenyataan itu, uslub untuk sementara biasa didefinisikan sebagai kalimat Arab yang memiliki orientasi gramatika yang berbeda dari kalimat gramatika Arab pada umumnya.

Pernyataan yang paling baik dalam hal ini bahwa yang dimaksud dengan syarat Syaikhan atau syarat salah satu diantara keduanya adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur perawi yang terdapat pada dua kitab tersebut atau salah satunya, selain memperhatikan tata cara yang diambil oleh Syaikhan dalam meriwayatkan hadits dari para perawi itu.

Lalu, apa arti dari pernyataan muttafaqun ‘alaihi?

Jika para ulama hadits menyatakan terhadap suatu hadits muttafaqun alaihi, maka yang dimaksudkan mereka adalah kesepakatan Syaikhan, artinya Syaikhan sepakat atas keshahihannya, jadi bukan kesepakatan umat. Meski Ibnu Shalah menyatakan: “Kesepakatan umat terhadap hadits itu merupakan keharusan dan telah tercapai, sebab umat telah sepakat untuk menerima apa yang disepakati oleh keduanya” (Ulumul hadits, hal 24).

Wallahua’lam. [Paramuda/BersamaDakwah]

SILAHKAN BERI TANGGAPAN mohon perhatikan kesopanan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.