Beranda Keluarga Parenting Hari Pertama Masuk Sekolah dan Pesantren, Ini Tausiyah KH Hasan Abdullah Sahal

Hari Pertama Masuk Sekolah dan Pesantren, Ini Tausiyah KH Hasan Abdullah Sahal

2
hari pertama masuk sekolah
KH Hasan Abdullah Sahal (Gontor TV)

“Maaf Ustazah, apakah tadi malam anak-anak bisa tidur?” tanya seorang wali santri kepada Ustazah di sebuah SMPIT boarding.

Ketika dijawab bahwa sebagian anak tidak bisa tidur hingga tengah malam, ibu tersebut menimpali. “Berarti sama. Saya juga tidak bisa tidur.”

“Kegelisahan Bunda sama seperti yang saya alami setahun lalu. Sampai tiket balik ke Papua kami tunda karena hati belum benar-benar tega,” seorang wali santri kelas 8 berbagi pengalamannya.

“Saya juga nggak bisa tidur, stres dan nggak konsen kerja saat anak semata wayang kami masuk pesantren,” tambah wali santri kelas 9.

“Hampir semua teman menangis, Bi,” kata anak sulungku menceritakan kisahnya waktu hari-hari pertama di Pesantren.

Tentu berat bagi seorang anak usia SMP berpisah dari orangtuanya untuk nyantri. Perasaan berat itu terutama pada hari-hari pertama.

Bayangkan, biasanya mereka bertemu dengan orangtua setiap hari kini harus berada di pesantren dan baru sekian bulan sekali boleh pulang. Biasanya mereka dipenuhi dengan segala fasilitas yang membuat hidupnya nyaman, kini harus bersahabat dengan fasilitas pesantren yang terbatas. Biasanya mereka relatif santai di rumah, kini harus ekstra disiplin dan mandiri; mandi antri, makan antri, mencuci sendiri, dan seterusnya.

Mayoritas orangtua juga merasakan hal serupa. Ada rasa kehilangan ketika biasanya mereka begitu dekat dengan buah hatinya dan siap membantu saat anak butuh sesuatu, kini tak lagi bersama untuk sementara.

Orangtua –terutama ibu- yang kemudian menangis saat hari-hari pertama anaknya di pesantren bukanlah orangtua yang cengeng. Itu wajar. Sebagai sebuah ekspresi cinta dan kerinduan kepada buah hati. Bukankah para sahabat Nabi juga demikian rindu kepada Makkah saat hijrah di Madinah hingga ada yang demam dan menangis?

Seiring berjalannya waktu, orangtua akan terbiasa. Anak-anak juga akan terbiasa. Dan yang akan membuat kita kuat mengatasi perasaan itu terutama adalah visi kehidupan dan pendidikan kita. Ibarat investasi, sesungguhnya kita membayar di depan untuk memanen hasilnya di masa mendatang. Bahkan masa yang abadi yakni di akhirat nanti.

Maka KH Hasan Abdullah Sahal, pengasuh pondok modern Darussalam Gontor, memberikan tausiyah, “Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu yang menuntut ilmu agama, daripada kalau kamu sudah tua nanti menangis karena anak-anakmu lalai terhadap urusan akhirat.”

Saat anakku menceritakan pengalaman dirinya dan teman-teman yang menangis di hari-hari pertama masuk pesantren, aku mencoba menanamkan prinsip serupa: lebih baik menangis di dunia karena menuntut ilmu, daripada menangis di akhirat karena tidak punya ilmu. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

2 KOMENTAR

  1. Alhamdulillah pesantren sudah bnyk dan berkembang semoga mnjdkn insan yg bertaqwa dan generasi qur’ani,Amiiiin

SILAHKAN BERI TANGGAPAN mohon perhatikan kesopanan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.