Setiap dari kita pasti pernah menemukan barang yang bukan milik kita. Entah nilainya kecil atau besar, padat atau cair, bergerak atau diam. Lalu apakah yang harus dilakukan bila menemukan barang tak bertuan?
Dalam hukum Islam, barang temuan disebut dengan luqathah. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd disebutkan, ada tiga rukun barang temuan yakni menemukan barang temuan, orang yang menemukan dan barang yang ditemukan.
Pada rukun yang pertama, ada perselisihan pendapat di kalangan ulama apakah sebaiknya diambil atau dibiarkan. Imam Abu Hanifah mengatakan sebaiknya barang itu diambil. Alasannya, kewajiban bagi seorang muslim salah satunya adalah menjaga harta saudaranya sesama muslim. Imam Syafii pun setuju dengan pendapat ini. Karena itu, ulama lain malah menilai jika barang temuan wajib diambil.
Imam Malik dan beberapa ulama lain berbeda pandangan, mereka menetapkan bahwa mengambil barang temuan hukumnya makruh. Imam Malik mendasarkan pada hadits riwayat dari Imam Baihaqi dalam as Sunan Kubra, “Barang hilang milik orang mukmin adalah nyala api neraka.” Alasan berikutnya, mereka mengkhawatirkan kelalaian dalam mengurusi hal-hal yang diwajibkan. Pasalnya, mereka harus mengumumkan barang temuan tersebut dan tidak menyia-nyiakannya. Ulama yang berpendapat agar mengambil terlebih dahulu barang temuan menafsirkan hadits tersebut adalah larangan untuk memanfaatkan barang-barang kaum mukmin yang hilang. Bukan untuk diumumkan.
Dalam sebuah hadits dikisahkan jika seseorang datang menemui Rasulullah SAW lalu ia menanyakan kepada beliau tentang barang temuan. Rasulullah bersabda, “Kenalillah tutup dan talinya. Kemudian umumkanlah barang temuan tersebut selama setahun. Jika pemiliknya datang, serahkanlah. Dan jika tidak datang, maka urusan barang tersebut terserah kamu.” Ia bertanya, “Bagaimana bila kambing yang hilang Rasulullah?” Beliau bersabda, “Itu untukmu atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya, “Bagaimana bila unta yang hilang Ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Apa urusanmu dengannya? Dia mempunyai tempat air dan alas kaki sendiri. Ia akan mendatangi sumber air dan makan pepohonan sampai ditemukan pemiliknya.
Hadits ini memuat keterangan tentang barang temuan yang boleh dan tidak boleh diambil. Tentang hukum barang temuan yang diambil, tentang bagaimana keadaan dalam waktu setahun dan setelahnya. Dengan cara apa orang yang mengaku sebagai pemiliknya dapat memperolehnya. Karena itu, ulama sepakat unta temuan tidak boleh diambil. Para ulama pun meragukan kebolehan mengambil sapi. Imam Syafii menghukumi temuan sapi seperti unta. Namun Imam Malik menghukumi temuan sapi seperti kambing.
Dalam hadits lainnya, yang berasal dari Suwaid bin Ghaflah dan diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan kisah tentang Aus bin Ka’ab. Dia bercerita telah menemukan sebuah kantong berisi uang 100 dinar. Aus pun menemui Rasulullah SAW untuk menceritakan hal tersebut. Beliau bersabda, “Umumkan barang tersebut selama satu tahun.” Setelah aku umumkan, ternyata aku tidak mendapati pemiliknya. Kemudian aku menemuinya untuk ketiga kali. Lalu Nabi bersabda, “Jago kantong dan tali pengikatnya. Jika pemiliknya datang, maka serahkanlah. Dan jika tidak datang, maka manfaatkanlah barang itu.” Berdasarkan versi hadits riwayat at-Tirmidzi dan Abu Dawud, disebutkan, “….maka sedekahkanlah.”
Para ulama sepakat untuk mengumumkan barang yang penting selama satu tahun selain kambing. Lalu, mereka berselisih pendapat tentang status barang hilang yang sudah diumumkan selama satu tahun. Hanya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status barang hilang yang sudah diumumkan selama satu tahun.
Empat imam mazhab, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad dan beberapa ulama lain berpendapat jika sudah diumumkan selama jangka waktu satu tahun, orang yang menemukan barang boleh memakannya jika sangat membutuhkan. Pilihan lainnya adalah menyedekahkannya jika ia kaya. Lalu, kalau pemiliknya datang, ia boleh memilih antara merelakannya sebagai sedekah sehingga ia mendapat pahala atau mengganti harganya. Ada perbedaan pendapat apakah barang tersebut boleh dikonsumsi ketika orang itu kaya atau tidak.
Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan untuk memakannya. Namun Imam Abu Hanifah hanya membolehkan untuk menyedekahkannya. Pendapat ini dikutip dari Ali, Ibnu Abbas dan beberapa ulama dari kalangan tabi’in. Pendapat lain datang dari al-Auza’i yang mengutip pendapat dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dan Aisyah. Menurutnya, jika jumlah harta yang ditemukan banyak, maka diserahkan ke baitul mal. Para ulama sepakat jika seseorang memakan barang temuan setelah diumumkan selama jangka waktu satu tahun, namun belakangan pemiliknya datang maka wajib mengganti nilainya.
Ketika ada yang mengakui barang tersebut pun ada hukumnya. Menurut Imam Malik, ketika ada orang yang mengakui barang tersebut, ia berhak atas barang itu tanpa mengemukakan bukti. Sedang Imam Abu Hanifah berpendapat jika ia tidak berhak atas barang tersebut kecuali dengan mengemukakan buktinya. Tentang alasan harus ada bukti, Imam Syafii dan Abu Hanifah berpedoman pada hadits Rasulullah SAW, “Kenalilah tutup dan tali pengikatnya. Jika pemiliknya datang, serahkanlah. Dan jika tak datang, maka urusannya terserah kamu.”
Maksud dari sabda tersebut bisa diartikan bahwa beliau memerintahkan orang yang menemukan barang temuan untuk mengenali tutup dan tali pengikatnya agar tidak tercampur dengan barang-barang lain.
Bisa juga diartikan barang tersebut boleh diserahkan kepada pemiliknya jika mengenali tutup dan tali pengikatnya. Sementara Imam Malik punya pendapat orang yang mengaku pemilik barang harus menerangkan ciri uang dinar dan jumlahnya di samping tutup dan tali pengikatnya. Wallahua a’lam. [Paramuda/BersamaDakwah]