Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Khalifah yang Ditikam Musuh Ketika Subuh

Khalifah yang Ditikam Musuh Ketika Subuh

Pixabay

Penyerangan yang dilakukan terhadap Penyidik Senior lembaga antirasuah KPK Novel Baswedan di waktu Subuh mengingatkan kita pada kejadian berabad lampau. Yang terjadi pada seorang Amirul Mukminin.

Ketika itu matahari belum terbit. Amirul Mukminin ini keluar dari rumahnya hendak mengimami sholat Subuh. Ia menunjuk beberapa orang di Masjid agar mengatur shaf sebelum sholat. Kalau barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan melihat shaf pertama. Kalau ada orang yang berdiri lebih maju atau mundur, diaturnya. Kalau semua sudah teratur di tempat masing-masing, mulai ia bertakbir untuk sholat.

Saat itu tanda-tanda fajar sudah mulai tampak. Baru saja ia mulai niat shalat hendak bertakbir tiba-tiba muncul seorang laki-laki di depannya dan menikamnya dengan khanjar tiga atau enam kali, yang sekali mengenai bawah pusar.

Umar merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya, ia menoleh kepada jemaah yang lain dan membentangkan tangannya seraya berkata: ”Kejarlah orang itu; dia telah membunuhku!” Dan orang itu adalah Abu Lu’lu’ah, budak al-Mugirah. Orang Persia yang tertawan di Nahawand, yang kemudian menjadi milik al-Mugirah bin Syu’bah.

Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi. Ia bersembunyi di bawah pakaiannya dengan menggenggam bagian tengahnya khanjar bermata dua yang tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut masjid. Begitu sholat dimulai ia langsung bertindak. Sesudah itu ia menyeruak lari hendak menyelamatkan diri.

Orang gempar dan kacau, gelisah mendengar itu. Orang banyak datang hendak menangkap dan menghajar orang itu. Tetapi Abu Lu’lu’ah tidak memberi kesempatan menangkapnya. Malah ia menikam ke kanan kiri hingga ada dua belas orang yang kena tikam, enam orang meninggal kata satu sumber dan menurut sumber yang lain sembilan orang. Datang seorang dari belakang dan menyelubungkan bajunya kepada orang itu sambil mengempaskannya ke lantai. Yakin dirinya pasti akan dibunuh, Abu Lu’lu’ah memilih jalan pintas. Ia bunuh diri dengan khanjar yang digunakan menikam Amirul Mukminin.

Tikaman yang mengenai bawah pusarnya itu telah memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang dapat mematikan. Konon Umar tak dapat berdiri karena rasa perihnya tikaman itu, dan terempas jatuh.

Abdur-Rahman bin Auf segera maju menggantikannya mengimami salat. Ia meneruskan sholat itu dengan membaca dua surah terpendek dalam Quran: al-Asr dan al-Kausar. Ada juga dikatakan bahwa orang jadi kacau-balau setelah Umar tertikam dan beberapa orang lagi di sekitarnya. Mereka makin gelisah setelah melihat Umar diusung ke rumahnya di dekat masjid. Orang ramai tetap kacau dan hiruk-pikuk sehingga ada yang berseru: Sholat! Matahari sudah terbit! Mereka mendorong Abdur-Rahman bin Auf dan dia maju sholat dengan dua surah terpendek tersebut.

Sumber kedua ini sudah tentu lebih dapat diterima. Dalam suasana kacau begitu barisan orang untuk sholat kembali sudah tidak akan teratur lagi, sementara Amirul Mukminin tergeletak bercucuran darah di depan mereka, dan darah orang-orang yang juga terkena tikam bergelimang di sekitar mereka, dan si pembunuh juga sedang sekarat di tengah-tengah mereka! Andaikata – dengan penderitaan akibat beberapa kali tikaman itu – kita dapat membayangkan Umar sedang berpikir untuk meminta Abdur-Rahman bin Auf menggantikannya sholat – suatu hal yang jauh dapat dibayangkan akal – tidaklah kita dapat membayangkan saat itu orang dapat mengatur barisan sementara mereka dalam suasana kegamangan dan ketakutan.

Tentunya ketika itu Umar sudah diusung ke rumahnya di dekat masjid dalam keadaan sadar atau pingsan karena dahsyatnya tikaman itu dan orang-orang mengelilinginya ketika dibawa masuk kepada keluarganya. Orang-orang yang terkena tikam dan dibawa keluar dari Masjid atau dipindahkan ke sekitarnya itu, sudah diberi pertolongan. Mayat Abu Lu’lu’ah juga dikeluarkan dan dibawa ke Butaiha. Setelah itu orang kembali ke masjid dan membicarakan kejadian itu sampai kemudian ada orang yang mengingatkan mereka akan waktu sholat. Ketika itulah mereka meminta Abdur-Rahman bin Auf untuk mengimami salat.

Seiring terbitnya matahari pagi, berita mengerikan tersebut tersebar ke seantero Madinah. Penduduk ingin mengetahui lebih jelas mengenai kejadian yang sangat mengejutkan itu. Bahkan pemuka pemuka dari masing masing kabilah segera berkumpul di halaman rumah umar untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

Abdullah ibn Abbas mengungkapkan “Aku masih berada ditempat Umar dan dia belum sadarkan diri hingga matahari terbit. Setelah siuman, sambil berbaring ia bertanya: “Apakah orang orang sudah shalat?”

“Sudah”, jawab Abdullah ibn Abbas.

Setelah itu ia memerintahkan Abdullah ibn Abbas untuk mencari tahu orang yang telah menusuknya. Aku segera belajar keluar dan menemui para pemuka kabilah.

“Saudara saudaraku,“ kata Abdullah ibn Abbas, “Amirul Mu’munin ingin mengetahui apakah peristiwa ini merupakan konspirasi kalian?”

Para pemuka kabilah yang mendengar pertanyaan tersebut menjadi kecut, dan serentak berkata, “Semoga Allah melindungi kami, kami tidak tahu. Mana mungkin itu akan terjadi. Jika kami tahu, pasti kami bersedia menebusnya dengan nyawa kami atau anak anak kami.”

“ Lalu siapa yang menikam Amiril Mukminin?” Tanya Abdullah bin Abas lagi.

“Ia ditikam oleh musuh allah, Abu Lu’luah budak Mughirah bin Syu’bah,” jawab mereka.

Abdullah bin Abbas kembali dalam rumah Khalifah Umar dan menyampaikan kabar orang yang telah menikamnya. “ Alhamdulillah, aku tidak dibunuh oleh seorang muslim, tidak mungkin orang Arab akan membunuhku,” kata Umar.

Kemudian Umar R.A. menangis. Umar R.A. berkata “Demi Allah, jika aku dapat meninggalkan dunia ini tanpa ada perkara yang memberatkanku dan tak ada apa-apa untukku, maka aku akan bahagia.”

Abdullah ibn Abbas R.A. berkata “Ya Amirul Mukminin, Rasulullah S.AW. meninggalkan dunia ini dan dia merasa bahagia denganmu, tidak ada dua orang Muslim yang berselisih berkenaan dengan kekhalifahanmu, setiap orang bahagia dengan kekhalifahanmu.”

Umar R.A. berkata “Aku tahu itu, tapi kekhalifahan ini membuatku khawatir. Wahai Abdullah, dudukkan aku”, kemudian mereka mendudukkannya. Kemudian Umar memegang bahu Abdullah dan berkata “Wahai Abdullah, maukah kau bersaksi untukku di hari kiamat?”

Abdullah berkata “Aku akan bersaksi untukmu di hari kiamat.”

Kemudian Umar berbaring di pangkuan putranya, Abdullah ibn Umar. Dia berkata kepadanya “Tempatkan pipiku di lantai.”

Abdullah ibn Umar R.A. berkata “Kenapa ayah?” sembari mengecup kening Umar, dan menempatkan pipinya di lantai.

Umar berkata “Jika aku ditakdirkan berada di surga, maka bantal surga lebih lembut daripada pahamu, dan jika aku ditakdirkan masuk neraka, maka kau tidak menginginkan seorang penghuni neraka di atas pahamu.”

Selain itu, ia juga berpesan kepada anaknya agar menjual benda benda yang dimilikinya untuk melunasi utang utangnya. Sebab ia tidak ingin meninggalkan dunia dengan membawa kewajiban yang belum diselesaikan.

Kemudian Umar R.A. memberitahu anggota keluarganya “Lembut-lembutlah dalam mengkafaniku karena jika Allah menakdirkanku surga, maka Allah akan memberikanku yang lebih baik daripada ini, dan jika Allah menakdirkan neraka untukku, maka Allah akan mencabutku dari semua ini. Berlembutlah dalam menggali kuburku, karena jika Allah menakdirkanku surga, maka dia akan meluaskan kuburku. Dan jika Allah menakdirkan neraka untukku, maka kubur itu akan menghimpitku.”

Kemudian dia berkata kepada anaknya, yaitu Abdullah ibn Umar “Ya Abdullah, pergilah dan tanyakan kepada Aisyah R.A., apakah dia membolehkanku untuk dikubur disamping Rasulullah S.A.W. dan Abu Bakar R.A.?”

Lalu pergilah Abdullah ibn Umar RA., dia mengetuk pintunya dan masuk ke rumah Aisyah RA. Ternyata Aisyah RA. sedang menangis, dan dia memberikan salam padanya kemudian bertanya pada Aisyah “Umar meminta untuk dikuburkan di samping Rasulullah SAW. dan Abu Bakar RA., apakah kau mengizinkannya?”

Aisyah RA. berkata “Aku sudah memesan tempat itu untuk diriku, karena Rasulullah adalah suamiku dan Abu Bakar adalah ayahku, tapi aku akan memberikannya kepada Umar.”

Dan riwayatnya menyebutkan ketika Abdullah datang, Umar sedang berbaring dan dia berkata “Dudukkan aku.” Kemudian mereka mendudukkannya, lalu Abdullah memasuki ruangan dan berkata “Wahai ayahku, keinginanmu dikabulkan.”

Umar berkata “Aku tidak punya keinginan apapun melebihi itu. Ketika aku meninggal dan kau membawaku untuk dikuburkan, tanyakan kepada Aisyah RA. lagi, mungkin karena statusku dia merasa keberatan untuk memberikanku tempat itu. Tanyakan dia lagi, dan jika dia setuju, maka kuburkan aku di sana, kalau tidak, maka kuburkan aku di pemakaman umat Muslim.”

Beberapa hari setelah peristiwa penikanman, Umar bin Khatab mengembuskan nafas terakhirnya dan menyisakan duka mendelam dikalangan umat islam.

Umar meninggal dan dikuburkan di samping Abu Bakar R.A. dan Rasulullah SAW.