Beranda Tazkiyah Tazkiyatun Nafs 3 Amal yang Paling Berat Menurut Imam Syafi’i

3 Amal yang Paling Berat Menurut Imam Syafi’i

0
amal yang paling berat
ilustrasi kerja keras (Zaen Photography)

Ada amal-amal tertentu yang lebih berat dibandingkan dengan amal lainnya. Karena melakukannya berat, insya Allah timbangannya di akhirat juga berat.

Di antara amal-amal yang berat, amal apa yang paling berat? Berikut ini 3 amal yang paling berat menurut Imam Syafi’i rahimahullah.

“Amal yang paling berat ada tiga,” kata Imam Syafi’i seperti dikutip Syaikh Tariq Suwaidan dalam Silsilah al-Aimmah al-Mushawwarah, “murah hati saat miskin, wara’ saat sendiri, dan mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti.”

1. Murah Hati Saat Miskin

Infaq adalah amal yang berat. Sebab pada umumnya, manusia cinta dunia. Ia bekerja keras untuk mencari harta, senang ketika mendapatkan banyak harta, dan cenderung pelit untuk mengeluarkannya. Karenanya di antara ciri orang yang bertaqwa adalah wa mimma raaqnahum yunfiquun: menginfakkan sebagian harta yang direzekikan kepadanya.

Lebih dari itu, Surat Ali Imran ayat 134 menyebutkan bahwa di antara ciri orang yang bertaqwa adalah berinfaq baik di waktu lapang maupun di waktu sempit

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

Berinfaq saat lapang mungkin agak ringan. Tetapi berinfaq di saat sempit? Jauh lebih berat. Dermawan saat dompet tebal mungkin agak ringan. Tetapi dermawan saat dompet tipis? Jauh lebih berat. Murah hati saat kaya mungkin agak ringan. Tetapi murah hati saat miskin? Jauh lebih berat.

Hanya orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah yang sanggup menjalankan amal yang paling berat ini. Rasulullah adalah teladan utama. Beliau dermawan di saat lapang maupun di saat sempit. Beliau murah hati di saat mendapati banyak harta, beliau juga murah hati di saat kebutuhan konsumsinya sendiri bahkan belum tersedia.

Dari banyak hadits kita mengetahui betapa Rasulullah sangat dermawan. Beliau adalah orang yang memiliki banyak harta dari ghanimah, tetapi harta itu tidak pernah beliau miliki. Begitu dapat langsung beliau sedekahkan. Bahkan pernah beliau mempercepat shalat karena ingin harta yang baru saja diserahkan kepada beliau segera dibagikan kepada fakir miskin.

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga demikian. Mereka adalah generasi yang mampu mengikuti jejak Nabi; berinfaq di kala lapang maupun sempit. Mobilisasi infaq menjelang Perang Tabuk menjadi saksi. Ada yang kaya seperti Umar menginfakkan separuh hartanya. Ada yang kaya seperti Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Namun ada juga sahabat yang miskin, tetap berinfak sesuai kemampuan mereka meskipun hanya setengah sha’ kurma.

Betapa para sahabat mampu murah hati saat miskin hingga abadilah kisah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim yang menjamu tamu dalam kegelapan. Sebab mereka berdua tak ingin tamu itu tahu bahwa makanan yang dihidangkan hanya cukup untuknya. Sementara mereka merelakan diri dan anaknya menahan lapar di malam itu.

Betapa para sahabat mampu murah hati saat miskin hingga abadilah kisah Ali dan Fatimah yang tidak menemukan menu apapun untuk tiga hari puasa kecuali air karena menjelang berbuka selalu ada peminta-minta dan mereka berdua memberikan makanan jatah berbuka untuknya.

Imam Syafi’i sendiri juga mampu meneladani Rasulullah dalam menjalankan amal yang paling berat ini. Kendati beliau kehabisan bekal, beliau segera menginfakkan harta yang baru diterimanya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Baca juga: Sedekah Subuh

2. Wara’ Saat Sendiri

Secara sederhana, wara’ adalah sikap meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat. Secara lebih mendalam, wara’ bukan hanya meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat tetapi juga meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat serta hal-hal mubah yang berlebihan. Persis sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits Arbain 12:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Diantara tanda kebaikan (kesempurnaan) Islam seseorang, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya. (HR. Tirmidzi)

Meninggakan hal-hal yang haram adalah amal yang berat bagi banyak orang. Karenanya kita lihat ada orang-orang yang suka minum-minuman keras, berjudi, berzina dan sebagainya. Bahkan di antara mereka, ada yang melakukannya secara terang-terangan di depan banyak orang.

Meninggalkan hal-hal yang haram saat sendirian tentu lebih berat lagi. Karenanya ada orang yang kelihatan baik ketika di depan publik, tetapi diam-diam ia melakukan korupsi. Ada orang yang tampak mulia tetapi bermaksiat dalam kesendiriannya. Sungguh sangat tepat nasihat Bilal Sa’ad rahimahullah. Tabi’in yang wafat di Syam ini mengatakan:

لَا تَكُنْ وَلِيًّا لِلَّهِ تَعَالَى فِي العَلَانِيَةِ وَ عَدُوَّهُ فِي السِّرِّ

Janganlah engkau (tampak) menjadi wali Allah Ta’ala di tengah keramaian, tetapi menjadi musuh-Nya ketika sendirian.

Menjauhi syubhat lebih berat lagi. Hal yang masih samar hukumnya, apakah ini halal atau tercampur dengan hal yang haram. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang mampu mempraktikkan wara’ dengan sempurna. Suatu hari ketika ia mendapat makanan dari seorang sahabat, ia memakannya. Setelah ingat, barulah ia bertanya dari mana makanan itu.

Begitu sahabat tadi memberi tahu bahwa makanan tersebut pemberian orang yang dulu pernah ia ruqyah di masa jahiliyah, Abu Bakar langsung memasukkan jari-jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makanan yang telah masuk ke perutnya. Sementara di zaman kita, seakan hilang kepedulian untuk bertanya uang ini dari mana, harta ini dari mana, makanan ini dari mana.

Apalagi menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat dan hal mubah yang berlebihan. Jauh lebih berat lagi. Sehingga tak salah jika Imam Syafi’i memasukkan wara’ saat sendiri merupakan salah satu amal yang paling berat.

3. Mengucapkan Kebenaran di Hadapan Orang yang Ditakuti

Berdakwah adalah tugas setiap muslim. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas setiap muslim. Tugas itu berat, terbukti banyak orang yang melalaikannya. Namun, yang lebih berat adalah berdakwah dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar di hadapan orang yang ditakuti, khususnya penguasa.

Mengapa? Sebab menyampaikan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan menyampaikan kebenaran di hadapan orang umum. Jika orang umum menolak kebenaran itu mungkin ia hanya mencemooh atau mencela. Tetapi jika orang yang punya kekuasaan menolak kebenaran itu, dalam ketersinggungannya ia bisa menjatuhkan hukuman berat atau memberangus dakwah di hadapannya.

Jadi, menyampaikan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti ini membutuhkan keberanian sekaligus risikonya adalah nyawa. Persis jihad. Bahkan lebih berat lagi karena jihad dilakukan bersama sementara amal ini sering dilakukan secara pribadi. Dan jika jihad langsung berhadapan dengan tentara kafir, amal ini berhadapan dengan penguasa yang bisa jadi secara identitas masih muslim.

Rasulullah menyebut amal ini sebagai afdhalul jihad, jihad yang paling utama. Beliau bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama adalah perkataan adil di hadapan penguasa zalim. (HR. Abu Daud)

Sedangkan dalam riwayat An Nasa’i dipakai istilah kalimatul haq: perkataan yang haq (kebenaran).

Amal ini sangat tepat disebut sebagai amal yang paling berat karena yang berani menyampaikan kebenaran kepada Raja Namrud adalah Nabi Ibrahim, lalu Nabi Ibrahim menghadapi risikonya: dibakar. Yang berani menyampaikan kebenaran kepada Fir’aun adalah Nabi Musa, lalu Nabi Musa menghadapi risikonya: dikejar-kejar untuk dipenggal. Yang berani menyampaikan kebenaran kepada pembesar Quraisy adalah Rasulullah Muhammad, lalu beliau menghadapi risikonya: dikepung untuk dibunuh.

Di zaman setelahnya, orang-orang yang mampu menegakkan amal ini adalah apara ulama pemberani. Imam Ahmad bin Hanbal yang menghadapi resiko penjara. Ibnu Taimiyah juga mendekam di balik jeruji besi. Hasan Al Banna diberondong. Sayyid Quthb digantung. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]