Dakwah itu mulia. Allah Ta’ala memberitahukan melalui al-Qur’an bahwa berdakwah atau menjadi dai merupakan pekerjaan yang paling mulia. Ialah mengajak orang-orang yang jauh untuk mendekat kepada-Nya, mengajak orang-orang yang syirik untuk menyembah hanya kepada-Nya, mengajak manusia dari penghambaan kepada sesama menuju penyembahan hanya kepada-Nya, mengajak orang dari keburukan menuju jalan bertabur cahaya.
Sayangnya, ada sebagian oknum yang tidak memahami esensi menjadi dai. Sebagian besarnya terbelah menjadi dua kubu yang ekstrem. Satu kubu sangat mendewakan harta dalam berdakwah, sedangkan kubu lainnya sangat apatis bahkan terkesan anti uang.
Padahal, keduanya sama bermasalahnya. Sebab bagaimana pun, dakwah membutuhkan dana operasional. Para dai juga harus memberikan nafkah kepada anak-anak, istri, dan orang yang berada dalam perwaliannya.
Kang Rendy Saputra dalam materinya di Sekolah Bisnis Dua Kodi Kartika tentang membenahi cara pandang terhadap uang menyampaikan satu kisah yang membuat saya-dan mungkin banyak aktivis dakwah atau kaum Muslimin-tercengang.
Ialah sebuah fakta miris yang dialami oleh sebagian aktivis dan kaum Muslimin. Lantaran kekeliruan yang dilakukan oleh oknum ini, Islam, dakwah, Allah, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjadi sasaran hinaan.
Tersebutlah seorang aktivis dakwah yang sudah memiliki beberapa anak. Suatu hari, dia berkunjung ke rumah mertuanya. Ia mengendarai motor dengan istri dan anak-anaknya. Terlihat sangat bersahaja.
Sejatinya, kunjungan rutin ini bermakna simalakama bagi si aktivis. Sebab dalam forum keluarga itu, dia akan bertemu dengan saudara-saudara ipar yang secara ekonomi jauh lebih mapan.
Sampai di rumah mertua, si aktivis asyik berdiskusi dan ngobrol santai tentang banyak hal. Dalam keseruan perbincangan itu, adzan berkumandang. Sang aktivis pun bersiap diri menuju masjid. Mendatangi panggilan Allah Ta’ala melalui muadzin itu.
Dengan senyum termanis dan bahasa tubuh terlembut serta sopan, sang aktivis mendekati saudara iparnya yang masih asyik dalam santainya.
“Bang,” tutur sang aktivis, “ayo shalat. Berjamaah di masjid.”
“Sampaikan kepada Tuhanmu agar Dia memberikan bayaran sekolah untuk anak-anakmu.” jawab si Abang. Mukanya memerah. Tekanan darahnya memuncak.
Allah… Kita boleh mengkritisi kesombongan si Abang dalam kisah ini. Tapi yang lebih strategis untuk dilakukan ialah menyelesaikan kelemahan yang terjadi pada sebagian kaum Muslimin. Salah satunya ialah kelemahan finansial hingga mereka bergantung kepada orang lain, baik dari kalangan keluarga atau bukan.
Betapa Islam yang mulia telah mengajarkan kemandirian yang paripurna kepada kita. Mari menggali pemahaman nan mulia ini, lantas mengamalkannya bersama. Agar umat Islam benar-benar kuat dan berdaya.
Wallahu a’lam. [Pirman/Bersamadakwah]