Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disapa Ahok bersikeras melakukan penggusuran di bantaran Sungai Ciliwung, kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Bakal calon gubernur petahana ini malah mengaku tidak takut pamornya memburuk karena menggusur warga jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017.
Ketika penggusuran yang melibatkan 1.107 personel gabungan digerakkan, warga masih menunggu keputusan hukum tetap yang tengah proses di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Warga juga telah mengajukan gugatan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Warga pun tak percaya dengan ucapan Ahok dan keluar kata “mbelgedes” di sana.
“Ahok tuh omongannya mbelgedes, karena tak sesuai dengan omongannya dia, janji tinggal janji. Dia ituh omong kosong,” ujar Kasmo, usia 50 tahun, warga yang tinggal di RT 06 RW 12, di lokasi penggusuran, Rabu (27/9) ini kepada awak media.
Akibat penggusuran itu pula, backhoe pun bergerak yang menimpulkan cerita tragis dari seorang netizen bernama Elisa Sutanudjaja. Berikut kisah yang diutarakan Elisa.
***
Tadi malam saya tidak bisa tidur. Anak saya terbangun lebih awal dan dia tidak bisa tidur. Dia diam menonton TV dan tidak comel cerewet seperti biasa. Mungkin dia tahu suasana hati saya sedang tidak baik.
Saya pergi jam 7, rasanya Transjakarta berjalan lambat menuju ke Harmoni untuk selanjutnya ke Kebon Pala. Di sana terlihat sepi, toko-toko sedikit yang buka. Sampai akhirnya saya mendekati Jembatan Tongtek Bukit Duri, segerombolan rupa aparat, Satpol PP hingga Polisi dan juga deretan mobil-mobil media.
Saya bertemu dengan mas Isnu, dan kemudian bersama Pak Sri Probo berjalan menyusuri jalan Bukit Duri Tanjakan, yang sudah penuh dengan bekas gusuran. Tak nampak backhoe dari jauh. Akhirnya sekitar 100 meter kedalam nampak juga.
Kami terpaksa berhenti karena ada rombongan pejabat Satpol PP dan Polisi hendak lewat. Saya tatap wajah mereka satu persatu, tapi semua membuang muka.
Akhirnya saya melihat backhoe hijau sedang menyerabut satu persatu rumah disaksikan warganya, dan diiringi bunyi kendang dan berbagai bacam tambuhan dari warga-warga setempat yang melakukan aksi budaya dari pagi.
Saya melihat Pak Sandyawan Sumardi dengan baju dan topinya yang sama. Dan air mata yang sudah saya tahan sepanjang perjalanan hampir 2 jam menuju Bukit Duri akhirnya tumpah. Dan saya peluk erat beliau sambil menangis, karena merasa tidak berdaya dan meminta maaf karena tidak bisa melakukan apa-apa. Sudah lama saya tidak sesedih itu.
Sanggar Ciliwung Merdeka sudah berdiri sejak tahun 2000. Sanggar disana menghasilkan entah berapa banyak karya seni dan budaya bersama-sama dengan masyarakat Bukit Duri dan Kampung Pulo. Mereka melakukan beragam kegiatan, dari pendidikan hingga kesehatan dan pengolahan sampah. Salah satu prestasi mereka adalah 3 tahun lalu mereka mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pekerjaan Umum atas upayanya sebagai pengubah kota (City Changer).
Pak Presiden Joko Widodo datang ke Sanggar Ciliwung Merdeka saat berkampanye sebagai Gubernur. Bahkan Basuki Tjahaja Purnama pun beraudiensi dan duduk bersila bersama mereka. Berdua Joko dan Basuki kedepankan Membangun tanpa Menggusur untuk melawan petahana, mengambil hati tak hanya kampung-kampung di Ciliwung tapi juga kampung-kampung Jaringan Rakyat Miskin Kota yang mendonasikan koin-koin demi kampanye mereka berdua. Joko Widodo terpilih, dan di hari pertama dia berjalan bersama Sandyawan di Bukit Duri, berjanji akan memperbaiki kampung tanpa menggusur, dengan kampung deret dan kampung susun.
Satu tahun ke belakang, saya menyaksikan 4 penggusuran dengan mata saya sendiri. Kampung Pulo dengan begitu banyak aparat dan belasan backhoe, dari jalan Bandengan mengamati penggusuran Kalijodo (karena tidak bisa masuk), dari Menara Syahbandar melihat Kampung Pasar Ikan dan Aquarium diratakan sambil diiringi teriakan dan tangisan ibu-ibu. Dan terakhir adalah Bukit Duri.
Saya menyaksikan dari awal hingga akhir ketika backhoe hijau mulai menggaruk bagian belakang Sanggar Cilwung Merdeka. Debu bertebaran. Satu persatu bagian sanggar digaruk. Dan garukan terhenti sebentar. Untuk apa? Ternyata demi mengambil bendera. Para Satpol berseru: “ambil dulu Bendera Merah Putihnya. penting itu.” Dan setelah bendera terambil, penghancuran dilanjutkan.
Dan akhirnya Sanggar Ciliwung Merdeka yang telah berkontribusi demikian besar, buah karya bapak dan anak-anak serta warga, bapak yang menjadi penyelamat demikian banyak orang, termasuk politikus DPR, akhirnya rata dengan tanah.
Saya hanya punya satu kata: BIADAB.