Peristiwa penistaan agama yang dilakukan oleh pejawat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu di akhir September lalu ternyata bukan penistaan pertama kali. Jauh sebelumnya ia sudah menistakan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 melalui buku berjudul “Merubah Indonesia” di halaman 40.
Dalam buku terbitan tahun 2008 itu Ahok menyebutkan bahwa ada ayat yang dipakai untuk memecah belah rakyat dan memberi label yang menggunakan ayat itu sebagai oknum yang kerasukan roh kolonialisme. Hal tersebut tertulis dalam paragraf pertama pada sub judul “Berlindung di Balik Ayat Suci”.
“Selama karier politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti pemilu, kampanye pemilihan bupati, bahkan sampai gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme” kata Ahok.
Pada paragraf kedua, tersangka kasus penistaan agama yang bebas melenggang itu mengatakan bahwa ayat itu sengaja dipakai oleh oknum karena menganggap oknum tidak bisa bersaing.
“Ayat itu sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elite karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep “seiman”memilihnya,” kata dia di paragraf kedua.
Pada bagian paragraf yang ketiga inilah, Ahok mulai menistakan Al-Qur’an.
“Dari oknum elite yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Al-Maidah 51. Isinya, melarang rakyat menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka dengan tambahan jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin yang seiman,” tulis Ahok.
Buku terbitan Center for Democracy and Transparency itu Ahok, masih di halaman yang sama, menyebutkan orang yang memakai Al-Maidah: 51 adalah pengecut.
“Karena kondisi banyaknya oknum elite yang pengecut dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi dan akhirnya mengandalkan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan,” tulisnya di paragraf tujuh.
Kondisi inilah yang memicu kita, kata Ahok di paragraf terakhir, tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik.
“Melainkan kita mendapatkan yang buruk dari yang terburuk karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasanya yang sesama manusia),” ungkap Ahok. [Paramuda/ BersamaDakwah]