Ita Prasanti agak ngeri-ngeri sedap ketika tahu jumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh saudaranya untuk menyekolahkan anaknya ke Sekolah Islam Terpadu (SIT). Warga Semarang, Jawa Tengah itu masih dihantui kekhawatiran bila harus memasukkan anaknya nanti ke sekolah yang terkenal karena keunggulan akademik dan pembentukan karakter itu.
“Keponakan saya, uang mukanya saja Rp7 juta, per bulannya Rp800 ribu. Bagi kami yang gajinya tidak sampai UMK hanya berserah diri pada Allah. Semoga kelak pas waktunya anakku sekolah mereka mendapat pendidikan yang terbaik. Semoga kami bisa menjadi orangtua yang amanah yang bisa memberi bekal akhlak yang baik bagi anak-anak kami,” ungkap Ita.
Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2016 resmi ditetapkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo satu tahun lalu. Disebutkan dari 35 kabupaten/kota, UMK Kota Semarang ditetapkan sebagai yang tertinggi, sebesar Rp 1.909.000. Sementara UMK yang terendah Kabupaten Banjarnegara Rp 1.265.000.
Dengan pendapatan sejumlah itu sulit bagi orangtua untuk memasukkan anak ke SIT. SIT menjadi momok menakutkan dan Sekolah Islam Terpadu menjadi “Terpadu” (tergantung pada duit).
Berbeda dengan Ita, Muktia Farid mengatakan bahwa biaya di SIT itu relatif terjangkau dan sebanding dengan yang didapatkan. Perbandingannya dengan sekolah swasta yang bonafit dan relatif mahal.
“Bukannya begitu (memercayakan sedari awal ke SIT). Niatin sekolah ke SIT yang kudu disiapkan. Kalau kira-kira tidak cukup, cari yang bukan SIT ada banyak pilihan,” kata ibu yang ketiga anaknya sekolah di SIT yaitu di SMAIT Assyifa’ Subang, SMPIT Assyifa Subang dan SDIT Al-Hikmah Pamulang.
Muktia harus mengeluarkan dana sebesar Rp10 juta untuk SD, Rp13-14 juta untuk SMP dan Rp17 juta untuk SMA ketika awal masuk sekolah. Untuk SPP dan uang saku yang boarding sebesar Rp1,6 juta. Yang ada di SDIT untuk SPP, katering dan ekskul sebesar Rp750 ribu.
“Yang Assyifa’ termasuk murah dibanding (SIT) boarding lain. Saya nggak kuat lah kalau nyekolahin di boarding misal di NF (Nurul Fikri) Lembang atau ICM (Insan Cendekia Madani). Cari yang level menengah saja, banyak yang nggak terlalu mahal kok,” aku Muktia yang bergelut dengan dunia pendidikan.
Setali tiga uang dengan Muktia, Syarif Furqon menganggap mengamanahkan anak ke SIT karena kualitas pengajarannya, tentang biaya pendidikannya, “Saya menganggap hal itu ‘murah’ jika sebanding dengan pendidikan anak yang anak dapat,” kata ayah muda yang berprofesi sebagai programmer ini.
Yang didapat dari anak Syarif yakni program menghafal alquran (tahfizh), ragam bahasa (multilanguage), pendidikan nasional, pendidikan internasional, tarbiyah dan ikatan jaringan yang kuat bagi anak maupun orangtua.
Ketua Dewan Pembina Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia Fahmy Alaydroes mengatakan bahwa murah dan mahalnya biaya sekolah itu sangat relatif.
“Mahal itu relatif. Apalagi, maaf, bila kita hitung biaya per unit yang lebih mikro. Katakanlah SPP per bulan satu juta rupiah. Wow mahal banget?! Tapi kalau kita breakdown, sesungguhnya biaya sejuta itu artinya, Rp50 ribu rupiah sehari. Sabtu dan Ahad libur. Dengan Rp50 ribu rupiah sehari putra atau putri kita mendapatkan pendidikan dunia akhirat selama 8 jam,” kata Fahmy ketika ditanya BersamaDakwah.net di Depok, Sabtu (26/11/2016). [wawancara lengkap bisa dilihat di sini]
Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, Fikri Faqih mengaku belum tahu banyak tentang data kuantitatif sekolah islam terpadu.
“Saya masih belum bisa memberikan pandangan secara detail dan akurat tentang Sekolah Islam Terpadu ini. Sebab belum pernah ketemu dengan JSIT secara formal sejak saya masuk Komisi X, yang mmbidangi pendidikan. Sehingga saya belum punya data kuantitatif,” kata Fikri kepada BersamaDakwah.net, Sabtu (26/11/2016).
Hanya saja secara kualitatif, menurut Fikri, SIT memang luar biasa.
“Secara kualitatif bisa dikatakan bahwa SIT sebenarnya sudah sangat luar biasa. Kontribusi dalam mendongkrak mutu pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bansa ini. Prestasi mereka rata-rata melejit melampaui sekolah-sekolah negeri yang sarpras (sarana dan prasana.red) pendidikannya secara maksimum ditopang oleh pemerintah,” tegas Fikri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Bahkan, kata dia, kebijakan pemerintah ke depan sudah lebih dahulu dilaksanakan oleh jaringan JSIT tentang Full Day School (FDS), sekolah 5 hari kerja, tentang guru pembelajar, tentang pendidikan karakter dan lainnya.
Ita masih sangat punya keinginan ketika anaknya sudah memasuki usia sekolah ingin dimasukkan ke SIT. “Pengin sekali. Semoga Allah meridhoi dan semoga kelak lebih bisa terjangkau kalangan menengah ke bawah,” ungkapnya. [Paramuda/BersamaDakwah]