Dewasa ini, ada sejumlah kalangan yang berusaha menafsirkan dan menakwil sifat-sifat Allah Ta’ala dengan beragam alasannya. Ada yang berpendapat, takwil dilakukan agar lebih mudah dipahami oleh kalangan awam. Ada yang mengatakan, takwil itu bisa menambah keyakinan.
Terkait hukum menakwil sifat-sifat Allah Ta’ala, salah seorang ulama Arab Saudi bernama Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya. Beliau pun menjabarkan jawabannya sebagai berikut.
Takwil dalam hal ini adalah suatu yang perbuatan yang mungkar, tidak boleh hukumnya menakwil sifat-sifat Allah Ta’ala.
Semua sifat Allah Ta’ala harus dipahami sesuai sesuatu dengan yang pantas bagi Allah Ta’ala tanpa ada perubahan, penafian, bertanya bagaimana bentuknya atau menyerupakannya dengan yang lain.
Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya kepada kita. Firman Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk memahaminya apa adanya, sesuai dengan yang ada di dalam Al-Qur`an dan hadits.
Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan, “Pahamilah sifat dan nama Allah Ta’ala sebagaimana adanya tanpa bertanya bagaimana bentuknya.”
Maksudnya, tetapkanlah seperti apa adanya tanpa ada perubahan, takwil, akan tetapi tetapkanlah sesuai dengan yang pantas bagi Allah Ta’ala. Hal ini seperti pemahaman terhadap firman Allah Ta’ala,
اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.Thaha: 5).
Begitu juga dengan ayat-ayat lain yang serupa. Makna ayat di atas adalah Allah Ta’ala bersemayam sesuai dengan keagungan-Nya, tidak seperti makhluk bersemayam.
Para ulama menafsirkan makna bersemayam adalah Allah Maha Mulia dan Maha Tinggi.
Demikian juga arti yang terkandung dalam kalimat mata, telinga, penglihatan, tangan, kaki dan sifat-sifat lain yang tertera dalam ayat-ayat Al-Qur`an, semuanya adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan Dzat Allah Ta’ala yang tidak ada satu pun makhluk menyerupai-Nya.
Cara pandang tersebut yang dimiliki oleh para ulama dengan mencontoh shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para imam Ahlussunnah setelah mereka, seperti Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq dan ulama-ulama yang lain. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.
Hal yang sama juga kita terapkan dalam memahami firman Allah Ta’ala dalam kisah Nuh Alaihissalam,
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا
“Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak, yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami.” (QS. Al-Qamar: 13-14).
Begitu juga firman Allah Ta’ala dalam kisah Nabi Musa Alaihissalam,
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِيْ
“Dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS.Thaha: 39).
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Berlanjut ke Hukum Menakwil Sifat-Sifat Allah Ta’ala (Bagian 2)