Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo mengeluarkan sebuah cuitan yang menyeret nama Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Selain itu, ia juga menyinggung kelompok yang katanya acuh tak acuh terhadap kemajemukan.
“Akhir-akhir ini ada kelompok memaksakan kehendak, mengabaikan kemajemukan. Kalau masih ada Gus Dur pasti kita diledek “kayak anak TK” saja -Jkw,” demikian cuitan mantan Gubernur DKI Jakarta itu, pada Jumat (23/12/2016).
Anak taman kanak-kanak itu identik dengan bermain ayunan di taman, kadang bertengkar dengan teman sekelas, rebutan mainan, kadang menangis karena ditinggal orangtua yang mengantar, bahkan kadang mengejek teman yang seragamnya berbeda.
Pertanyaan pun timbul di benak masyarakat, siapa yang ‘kayak anak TK’ yang dimaksud presiden yang beberapa waktu lalu bertandang ke Iran ketika terjadi krisis di Suriah itu? Tentu yang tahu jawabannya Jokowi.
Kita hanya bisa menduga, meraba-raba dan mencoba ke titik balik peristiwa intoleran yang terjadi belakangan ini atau yang kerap terjadi di bulan Desember (?).
Pertama, tiap bulan Desember kerap kali ada pemaksaan pemakaian atribut simbol keagamaan kepada agama yang tak merayakan Natal. Biasanya dilakukan oleh atasan sebuah perusahaan kepada bawahannya. Kadang kala atasannya malah bukan orang yang merayakan Natal–dengan kata lain seorang muslim. Seperti kasus Honda Jati Asih.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun sudah mengeluarkan Fatwa No 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim. Fatwa yang berlaku untuk umat Islam.
Kedua, perkara tulisan berlafazkan “Allah” pada dasar pohon Natal yang membuat heboh masyarakat. Pohon natal yang berada di Hotel Novita kawasan Pasar Jambi, Jambi.
Siapa yang dimaksud Jokowi kayak anak TK?
Dewan Pengurus Pusat Front Pembela Islam (FPI) menanggapi hal itu dengan guyonan.
“Memaksakan kehendak reklamasi laut, padahal melanggar hukum. Kedua, memaksakan Muslim pakai atribut agama lain. Pak Jokowi tahu aja deh:),” balas DPP FPI melalui laman jejaringnya.
Tak penting siapa sebenarnya yang seperti anak taman kanak-kanak. Terpenting, Presiden mampu mengurus yang masih hidup ketimbang berandai-andai yang sudah mati. [Paramuda/BersamaDakwah]