Dalam sebulan terakhir, beberapa keluarga meminta saya mewakili untuk prosesi khitbah. Baik menyampaikan maksud untuk mengkhitbah maupun menyampaikan jawaban khitbah yang tentu saja “menerima”. Belum pernah saya diminta menjawab “menolak” 😀
Sebenarnya, setiap orangtua bisa menyampaikan sendiri saat khitbah. Namun karena adat, banyak yang merasa perlu mewakilkan kepada orang lain. Di samping itu, faktor psikologis. Seseorang yang sangat bahagia karena putrinya dikhitbah, sering kali khawatir jika ia sendiri yang sambutan, ada kata-kata yang keliru atau bahkan mengalami tremor sehingga kesulitan menyampaikan isi hati. Jangan sampai maksud hati menerima khitbah, yang keluar malah pernyataan keberatan.
Menemani dan mewakili khitbah, membuat saya mendapatkan beberapa pengalaman menarik. Mulai dari mengenal tipe-tipe keluarga, sampai fakta unik.
Misalnya ada keluarga yang perfeksionis, semua harus disiapkan dengan sempurna sedetil-detilnya. Ada pula yang santai. Meskipun calon besan datang rombongan beberapa mobil, mereka menerima dengan santai. Hanya berdua suami istri ditambah anak-anaknya tanpa perlu ditemani oleh kerabat atau tetangga.
Calon pengantin juga demikian. Beragam. Ada yang serius, ada yang santai. Sebagiannya malah tidak terlalu fokus pada acara seremonial, yang penting lamaran diterima. Saya sempat terhenyak ketika seorang calon pengantin berkata sambil menyalami saya, “Terima kasih Ustadz, tausiyahnya sangat menyentuh hati.” Saya hanya cengar-cengir karena merasa tidak memberikan tausiyah. Hanya sambutan mewakili keluarga calon istrinya. Saya maklum, hatinya sedang berbunga-bunga.
Pernah juga ketika saya mengantar seorang pemuda. Calon mertuanya dengan nada hati-hati bertanya, “Maaf, apakah cukup berdua ini atau nanti akan ada lamaran bersama keluarga?”
Langsung saya sampaikan bahwa kali ini hanya ta’aruf agar beliau mengenal calon menantunya. Untuk khitbah resminya, akan membawa rombongan keluarga.
Mengapa beliau bertanya seperti itu? Ternyata pernah terjadi seorang pemuda muslim, aktifis dakwah, yang karena kurang mengerti tradisi dan hanya mementingkan substansi, ia datang berdua untuk mengkhitbah. Tanpa ditemani orangtuanya, tanpa membawa buah tangan apa pun. Ya Salam…
Menemani ta’aruf, lebih sering lagi dan lebih banyak pengalaman menarik. Beberapa tahun lalu, waktu usia saya masih kepala dua. Mungkin karena fisik saya juga kecil sehingga dianggap lebih muda dari yang saya antar. Begitu duduk, keluarga si akhwat datang menemui termasuk neneknya. “O… ini calon menantu nenek…” Buru-buru saya tegaskan: “Bukan Nek. Calonnya yang ini” 😀
Faktor fisik kecil dan usia memang sering kali demikian. Termasuk saat baru menikah, saya diminta satu keluarga untuk mewakili sambutan sekaligus merangkap ceramah nikah. Waktu itu usia masih 21 atau 22 tahun. Wajar kalau ada yang komentar: “itu yang ceramah sudah nikah atau belum?”
Ala kulli hal, seperti apapun gaya saat taaruf dan khitbah, semoga yang sudah khitbah diberkahi dan dimudahkan Allah hingga akad nikah. Dan yang sudah akad nikah, semoga diberkahiNya dan dijadikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]