“Mogok lagi mogok lagi, gara-gara si mesin bobrok..”
Jika diibaratkan kendaraan, partai politik itu seperti mobil dan mesin partai politik adalah mesinnya. Mesin harus tetap dijaga agar politik berjalan. Baik melaju cepat, lambat, jago bermanuver di jalan raya atau mogok di tengah jalan.
Mesin politik konon menjadi andalan parpol guna mendongkrak elektabilitas atau tingkat keterpilihan pasangan calon di pilkada yang biasanya belum dikenal publik. Term mesin politik bukan berarti berbentuk mesin. Akan tetapi organ yang biasanya terkait pemilihan umum, menjaring dukungan suara, kampanye dan imbal apapun bentuknya. Barangkali sistem kerjanya yang sedemikian greng dan massal, makanya disebut mesin karena kerjanya sama seperti mesin.
Lalu, partai politik mana saja di Indonesia yang saat ini memiliki mesin moncer?
Kita bisa menengok dengan spion sedikit apa yang terjadi di belakang mobil. Dari pemilihan kepala daerah yang berlangsung serentak Juni 2018 lalu. Parpol raksasa seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Gerindra dinilai pengamat politik memiliki mesin politik cukup buruk.
Apa pasal? Kedua parpol itu hanya mampu memperoleh peringkat terendah pada kontestasi Pilkada yang digelar serentak di 171 daerah.
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun pada Juni lalu mengatakan, “Kita boleh menyebutkan PDIP dan Gerindra mesin politiknya terburuk untuk 17 provinsi, karena persentase kemenangannya terkecil,” tuturnya.
Di tempat yang berbeda di bulan yang sama, pengamat politik dari Universitas Indonesia Hurriyah menyoroti Partai Keadilan Sejahtera atau PKS. Hurriyah menyebut partai dakwah berkomandan Mohamad Sohibul Iman itu menjadi partai dengan mesin politik yang paling efektif untuk memobilisasi dukungan massa pada Pilkada Serentak 2018 lalu. Namun ia memberikan sedikit catatan; faktor ketokohan masih sangat berpengaruh dalam menentukan perolehan suara.
Laman Nikkei Asian Review pun menyoroti Pilkada 2018 yang berlangsung di Indonesia. Pilkada dianggap oleh koran berbasis di Tokyo Jepang itu sebagai tembakan peringatan yang diarahkan ke muka Presiden Joko Widodo. Dukungan kepada Jokowi kian menyusut.
Itu 2018. Bagaimana dengan 2019 yang merupakan tahun pemilihan presiden? Para partai politik yang dianggap tidak membela penista agama seperti PKS, Gerindra, PAN, dan PBB menghadiri Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional yang berlangsung di Hotel Menara Peninsula 27 Juli 2018. Lalu pada Ahad 29 Juli 20018 menghasilkan sebuah putusan capres Prabowo dan cawapres dari PKS Habib Salim Segaf Aljufri serta Ustaz Abdul Somad.
Usai itu, Prabowo masih melakukan komunikasi intens dengan PKS, juga Demokrat– yang dikenal partai yang bodinya gede–melakukan pertemuan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Prabowo masih menimbang-nimbang.
Janji tertulis tampaknya sudah dilakukan oleh Prabowo bersama PKS di Jabar dan Pilpres. Selaras dengan keputusan Ijtima Ulama. Kebersamaan dengan ulama dan umat beserta mesin politik PKS yang terkenal yahud adalah kunci kemenangan 2019. Logistik dan elektabilitas juga merupakan faktor, namun bukan kunci.
Lagi, Prabowo menilai masih banyak pertimbangan dan membuka banyak peluang dengan kontestan lain. Ia mungkin tak meragukan apa yang dinamakan mesin partai politik yang syantik tapi, “Masih ada klausul,” kata Prabowo pada saat pertemuan di DPP PKS, Senin (30/7/2018).
[@paramuda/BersamaDakwah]