Namanya Umar Al-Hamawi atau yang disebut dengan Ibnul Farid. Dia dikenal dengan ahli ibadah. Meskipun dia adalah ahli ibadah, ada satu kesalahan fatal yang dilakukan oleh Ibnul Farid. Apa kesalahan fatal yang dilakukannya? Ibnul Farid memiliki pemikiran yang menyimpang dalam hal akidah. Ia meyakini bahwa Allah SWT bersemayam dalam tubuh mahluk ketika mahluk itu ahli ibadah secara ekstra kepada Allah.
Ketika manusia beribadah, menurut dia, manusia akan naik posisinya. Semakin banyak ibadah, maka semakin naik posisinya. Allah yang ada di atas semakin turun. Allah semakin mendekat kepada manusia. Maka ketika Allah dan manusia saling mendekat maka lama kelamaan di satu titik, mereka menyatu. Begitu pemikiran Ibnul Farid. Lalu ia menyimpulkan bahwa Allah SWT itu mahluk dan mahluk itu Allah SWT.
Ajaran seperti itu disebut dengan wihdatul wujud atau khuluqiyah. Allah itu kamu, kamu adalah Allah. Pemikiran seperti ini sangat berbahaya. Sebab bisa merusak akidah. Dalam ahlussunnah wal jamaah, Allah itu bersemayam di atas Arsy. Apabila memahami Allah bersemayam dalam tubuh kita, berarti Allah bisa salah. Allah bisa merasakan sakit ketika hamba itu dipukul atau disakiti.
Beberapa orang alim mencoba mendatangi Umar Al-Hamawi dan menasihati soal pemikirannya yang menyimpang itu. Memahamkan bahwa Rasulullah SAW tak pernah mengatakan di dalam dirinya adalah Allah SWT.
Memang betul Allah mendekat kepada orang yang beriman. Tapi mendekatnya tidak mendekat secara fisik. Namun apalah daya, hidayah tidak menghampiri Umar Al-Hamawi. Ia tetap meyakini bahwa Allah adalah mahluk dan mahluk adalah Allah.
Kematian akhirnya menghampiri Umar Al-Hamawi. Dalam menjelang ajalnya, saat sakaratul maut, teman-teman dan kerabat menghampirinya. Sebagai sesama muslim, mereka pun mentalqin Umar Al-Hamawi. Mentalqin seseorang yang akan meninggal dunia disunnahkan bagi orang yang ada di sisi orang yang akan meninggal dunia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لقنوا موتا كم لا إله إلا الله
“Tuntunlah seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat: ‘Laa ilaaha illa Allah’”
Saat ditalqin, tak ada ucapan yang bisa disampaikan oleh Umar Al-Hamawi sekalipun kalimat ‘Laa ilaaha illa Allah’. Padahal Umar adalah seorang ahli ibadah. Berulang kali dia ditalqin, berulang kali ia tidak bisa mengucapkan kalimat tauhid itu. Tiba-tiba Allah menggelar momen yang tidak akan dilupakan oleh sejarah. Akhir hayat Umar Al-Hamawi, saat sakaratul maut hanya mampu mengeluarkan suara sebagaimana suara anjing menggonggong. Naudzubillahi min dzalik. [@paramuda/BersamaDakwah]