Untuk pertama kali, tanggal 26 September 1960, beberapa stasiun televisi di Negeri Abang Sam menyiarkan debat capres.
Setidaknya 70 juta penonton layar televisi menyaksikan John Kennedy sebagai capres dari Partai Demokrat melawan Richard Nixon yang diusung Partai Republik.
Jutaan pemilih mengikuti debat melalui radio. Kennedy tampil energik, segar, dan menarik. Ia juga memukau pemirsa dengan gaya komunikasi yang menawan dan artikulatif.
Sebaliknya, Nixon yang lebih senior tampak lebih pucat. Ia mengenakan jas warna kelabu. Pilihan warna jas ini dinilai kurang pas karena tenggelam oleh background studio apabila dibenton di televisi hitam putih.
Usai debat, pemirsa televisi menahbiskan Kennedy sebagai pemenang karena penampilannya secara visual lebih menarik.
Sebaliknya, pendengar radio–yang tak melihat langsung Kennedy dan Nixon–justru menilai Nixon sebagai pemenang sebagai petahana, Nixon lebih menguasai materi ketimbang Kennedy. Debat melalui televisi itulah yang menjadi salah satu kunci kesuksesan Kennedy melenggang ke Gedung Putih.
Di Indonesia, tanggal 17 Januari 2019, debat capres juga disiarkan beberapa stasiun televisi. Bedanya, radio tidak begitu menonjol sebagai media seperti layaknya zaman Nixon. Malah justru luas cakupannya karena adanya internet. Maka sapaan “warganet” yang biasanya tidak pernah disampaikan, kini diucapkan beberapa kali oleh presenter matang Ira Koesno.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf mengenakan baju serba putih. Sementara pasangan Prabowo-Sandiaga Uno menggunakan setelan jas dengan dasi berwarna merah. Kedua pasangan sama-sama mengenakan peci hitam. Tak ada yang terlalu mengusik mata. Nggak penting untuk dibahas kecuali bagi Ivan Gunawan atau Dian Pelangi.
Jokowi tampak nggak nyantai saat direspons oleh Prabowo dengan jawaban “jangan menuduh” seolah dia adalah korban gosip gonjang-ganjing rumah tangga. Matanya terlalu banyak menghadap ke bawah, menengok rangkuman hasil belajar kebut semalam.
Performa Prabowo tidak ada yang istimewa, cenderung normatif. Wajar itu mungkin caranya di awal. Sandi cukup baik meski sempat nggak konek saat bahas terorisme tapi jawabnya ekonomi. Dan Kiai Ma’ruf adalah “Tuan Me Too”. Barangkali ia sedang mengaplikasikan “hindarilah debat”. Selebihnya hanya mengingatkan saya pada seorang teman di kelas yang kalau presentasi tugasnya hanya menggeser-geser PowerPoint.
Iya benar, benar. Debat capres kali ini tak semenggigit debat Pilkada DKI tempo hari. Cenderung lebih, meminjam istilah pengamat politik Efendi Gazali, sebagai diskusi bimbel ketimbang debat yang membabat.
Belum tahu siapa yang akan bernasib seperti Kennedy yang melenggang ke Istana Putih atau berwajah seperti Nixon yang pucat pasi. Babak kedua, lihat siapa yang akan babak belur dilumat pertanyaan berbehel. [@paramuda/BersamaDakwah]
Kalao Prabowo apa?kok didukung Ijtima ulama,..sepertinya Prabowo yg pegng kencali,..mesi ISlamnya gak seberapa kok mecari pemipin yg kurang paham agama sih?
Mengaku situs dakwah tapi malah menebar hal opini yg berat sebelah.. dakwah itu berarti mengajak org berbuat kebaikan..
Saya kecewa ketika agama di jadikan alat untuk memecut kumpulan manusia yg tergiur dgn hasutan dan doktrin yg tidak sesuai..
Komentar ditutup.