Beranda Suplemen Opini MPLS dan Kegagalan Berkomunikasi

MPLS dan Kegagalan Berkomunikasi

mpls dan kegagalan berkomunikasi
ilustrasi (unsplash)

“Tolong bantu, anak saya disuruh membawa roti sinder bolong, hati kenyal, batu bata itali, sopir pesawat, buah jantung, buku terang, piring terbang, air sendiri. Saya bingung.”

Berseliweran permohonan informasi orang tua di media sosial terkait bawaan anak mereka ke sekolah dalam rangka masa pengenalan lingkungan sekolah. Sebagian besar mendapatkan jawaban melalui postingan media sosialnya. Sebagian kecil masih berkutat dengan teka-teki yang tidak ada solusi. Ada netizen yang menceritakan pengalamannya saat disuruh membawa nasi jelek dan oli. Temannya benar-benar membawa oli ke sekolah. Padahal, tulis netizen, oli atau kecap itu harus disiramkan ke atas nasi jelek (goreng) sebelum dimakan.

Pertanyaan yang mengusik adalah apa relevansi teka-teki barang bawaan di atas dengan masa pengenalan lingkungan sekolah? Apakah penjual makanan di sekitar sekolah menjual menu dengan nama-nama di atas? Sehingga siswa perlu dikenalkan? Jika mereka mencari jajanan nasi goreng, mereka perlu mencari penjual nasi jelek? Rasanya tidak, bukan?

Lalu apa tujuan perintah serba rumit penuh teka-teki ini? Saya menanyakan hal ini pada pengelola sekolah anak saya. Jawaban mereka, ini sekedar teka-teki untuk mengasah kreativitas. Lalu jika tidak kreatif? Jika tidak bisa memecahkan teka-teki? Sampai menjelang berangkat mereka tidak tahu harus membawa apa? Bayangkan kepanikan siswa baru ini, gagal memenuhi perintah sekolah barunya. Boro-boro perasaan senang dan bahagia karena baru masuk sekolah, yang ada malah perasaan tertekan dan malu karena gagal paham.

Ditilik dari ilmu komunikasi sebenarnya apa yang terjadi di media sosial -puluhan permintaan bantuan informasi terkait teka-teki bawaan MPLS- menunjukkan kegagalan pengelola sekolah dan panitia MPLS dalam berkomunikasi. Komunikasi yang baik adalah pesan yang disampaikan komunikator diterima dengan baik dan sesuai maknanya oleh komunikan. Tidak terjadi bias makna sehingga A yang disampaikan, A pula yang diterima. Dengan banyaknya orang yang bingung menerjemahkan bawang bawaan MPLS, fakta bahwa terjadi kegagalan berkomunikasi.

Perkiraan saya, perintah penuh teka-teki ini, dan ujungnya kegagalan sebagian siswa baru untuk memenuhinya, adalah metode untuk menunjukkan superioritas pengelola sekolah dan siswa senior. Kegagalan sebagian siswa baru menunjukkan pengelola sekolah dan senior sebagai kelompok lebih paham, lebih cerdas, dan lebih kreatif. Dengan demikian, mereka lebih berwibawa dan patut disegani. Slogan yang nampak sedang dipraktekkan adalah jika bisa sulit, kenapa harus dipermudah?

Di sisi lain, yang jadi pertanyaan, mengapa masa pengenalan lingkungan sekolah mentok pada kegiatan teka-teki bawaan makanan dan barang. Mengapa, misal bagi siswa SMA, tidak ada diskusi tentang bullying yang rentan terjadi pada remaja seusia mereka? Mengapa tidak ada diskusi tentang bahaya LGBT dan pendeteksian dini grooming kaum LGBT, padahal dengan kondisi mereka hidup bersama dalam asrama, hal ini mungkin terjadi?

Sepertinya, terdapat kegamangan berjamaah pihak sekolah. Ada jarak yang lumayan jauh antara pengelola sekolah dengan kehidupan ril remaja yang penuh tantangan saat ini sehingga tidak paham harus mengenalkan lingkungan sekolah dengan cara bagaimana. Sepertinya, pengelola sekolah malah yang perlu diberikan masa pengenalan calon siswa baru. Generasi strawberry ini memang unik dan fluffy, tapi mereka juga generasi yang terbukti resilien melewatkan masa remaja mereka dalam pandemi dunia. Menemani mereka tumbuh dewasa menjadi penerus peradaban ini tentu perlu pemahaman dalam tentang mereka. [Maimon Herawati]