Bulan ini, 1438 tahun yang lalu, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tiba di Madinah. Ia masuk Islam setelah didakwahi oleh Thufail bin Amr ad-Dausi radhiyallahu ‘anhu.
Dibandingkan banyak sahabat Nabi, masuk Islamnya Abu Hurairah tergolong ‘terlambat.’ Pertemuannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ‘tertinggal.’ Namun, itu tak membuatnya menyalahkan keadaan. Justru itu membuatnya tertantang untuk mengejar ketertinggalan.
Waktu itu usia Abu Hurairah sekitar 26 tahun dan belum menikah. Maka, ia memutuskan menjadi ahlus shuffah. Tinggal di serambi Masjid Nabawi sehingga bisa selalu shalat berjamaah dan mengikuti Majelis Nabi. Ia juga ber-mulazamah, mengikuti ke mana pun Rasulullah pergi. Dengan demikian, ia menjadi orang yang paling banyak mendapatkan hadits Nabi.
Meskipun hanya empat tahun berjumpa Rasulullah, Abu Hurairah menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Sebanyak 5.374 hadits ia riwayatkan. Sekitar 104 sahabat dan 696 tabi’in meriwayatkan darinya.
Tadinya, Abu Hurairah tidak serta merta mampu menghafal seluruh hadits Nabi. “Ya Rasulullah, aku mendengar demikian banyak hadits darimu. Namun, tidak semuanya aku hafal.”
Rasulullah tersenyum melihat kesungguhan sahabatnya ini. Beliau menyuruhnya membentangkan serbannya. Lantas beliau menggerakkan tangan seakan memberikan sesuatu kepada Abu Hurairah yang kemudian menyambut isyarat pemberian itu. “Sejak saat itu,” kata sahabat yang memiliki nama Abdurrahman bin Shakhr ini, “aku tidak pernah lupa dengan apa yang beliau sabdakan.”
Dalam riwayat yang lain, Abu Hurairah berdoa: “Ya Allah, karuniakanlah aku ilmu yang tidak pernah aku lupa.” Rasulullah yang sedang di sampingnya mengaminkan doa itu. Dua sahabat lain mengikuti dengan doa yang sama, tetapi Rasulullah menjawab, “Kalian sudah didahului oleh Abu Hurairah.”
Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, Carol Dweck merumuskan teori tentang dua mindset: fixed mindset dan growth mindset. Dua di antara ciri fixed mindset adalah kecenderungan untuk menyalahkan keadaan dan kecenderungan untuk menyerah setelah menghadapi rintangan. Sebaliknya, growth mindset memiliki kecenderungan untuk melihat kegagalan dan kesalahan sebagai pijakan untuk meraih hasil yang lebih baik. Juga kemauan untuk mencoba strategi baru saat terbentur rintangan.
Sejarah Abu Hurairah mengajarkan kepada kita tentang growth mindset. Ia tidak menyalahkan keadaan dengan mengatakan, “Aku tertinggal masuk Islam dan bertemu Nabi karena tinggal di Yaman.” Justru ketertinggalan itu menyemangatinya untuk fastabiqul khairat. Ia rela berlapar-lapar hingga pernah nyaris pingsan demi bisa selalu mulazamah tanpa tersibukkan dengan urusan dunia.
Abu Hurairah tidak menyerah ketika menghadapi kendala menghafal begitu banyak hadits Nabi. Ia terus berikhtiar, di antaranya dengan berkonsultasi kepada Rasulullah dan berdoa. Ia juga berupaya menjadi yang terdepan dalam mengamalkan hadits dari kekasihnya. Maka, ia selalu mengerjakan shalat dhuha, puasa ayyamul bidh, dan shalat witir. Ia menghidupkan malamnya dengan tahajud dan menghidupkan hatinya dengan zuhud. Hasilnya, ia menjadi sahabat ternama yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Kemudian seluruh orang beriman juga mengenal dan mencintainya. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]