Sekitar satu tahun setelah Perang Ahzab, terjadilah Perjanjian Hudaibiyah. Apa latar belakangnya, kapan dan bagaimana terjadinya, apa hasilnya untuk Islam, dan ibrah apa saja yang bisa kita petik untuk strategi perjuangan umat Islam?
Sirah Nabawiyah bukan sekadar kumpulan kisah untuk kita nikmati dan kita hafal. Lebih dari itu, sirah nabawiyah menunjukkan bagaimana perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdakwah dan memenangkan Islam.
Selain mendapatkan banyak keteladanan, kita juga mendapatkan pola dan strategi perjuangan Islam. Pergerakan Islam perlu belajar dan mengambil inspirasi dari perjuangan Nabi ini. Termasuk Perjanjian Hudaibiyah yang kaya ibrah dan hikmah.
Daftar Isi
Latar Belakang Perjanjian Hudaiyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi memasuki masjidil haram, mengambil kunci Ka’bah, dan thawaf mengelilinya. Dalam mimpi itu, beliau juga melihat para sahabat mencukur rambut atau memendekkannya. Ketika beliau menceritakan mimpi itu kepada para sahabat, mereka sangat antusias. Mereka lebih bergembira lagi ketika mendengar Rasulullah hendak menunaikan umrah.
Pada saat itu, kondisi Madinah sudah cukup kuat. Berbagai peperangan yang mereka lalui semakin meneguhkan kedudukan kaum muslimin. Terakhir, Perang Ahzab pada tahun 5 hijriah juga membawa kemenangan gemilang bagi umat Islam.
Banyak sahabat Nabi baik yang tinggal di kota Madinah maupun di daerah pinggiran yang ingin ikut umrah bersama Rasulullah. Karena tujuannya adalah umrah, bukan berperang, Rasulullah memerintahkan mereka untuk membawa binatang sembelihan (hadyu) dan tidak membawa senjata kecuali sekadar senjatanya musafir yakni pedang yang dimasukkan ke dalam sarungnya.
Sebanyak sekitar 1.400 orang kaum muslimin bergabung bersama Rasulullah. Mereka menuju Mekkah untuk menunaikan umrah. Inilah latar belakang Perjanjian Hudaibiyah.
Kapan Terjadinya Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun 6 hijriah, bertepatan dengan bulan Maret 628 masehi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat berangkat meninggalkan Madinah pada 1 Dzulqa’dah tahun 6 hijriah. Istri Rasulullah yang mendampingi beliau menuju Mekkah adalah Ummu Salamah. Dari jumlah 1.400 lebih itu, ada empat shahabiyah antara lain Ummu Imarah.
Kaum Muslimin Bergerak ke Mekkah
Rasulullah bersama para sahabat pun bergerak ke Mekkah. Ketika tiba di Dzul Hulaifah, mereka mengalungkan tali ke hewan qurban dan memberi tanda. Rasulullah juga mengenakan pakaian ihram. Beliau ingin menunjukkan bahwa niat kaum muslimin ke Mekkah adalah untuk umrah, bukan untuk berperang.
Beliau lantas mengirim seorang intelijen ke Mekkah. Intelijen dari Bani Khuza’ah itu bergegas pergi menjalankan misinya. Ketika rombongan kaum muslimin tiba di Asfan, ia kembali menghadap Rasulullah dengan informasi penting.
“Saat aku meninggalkan Ka’ab bin Lu’ai, Quraisy sedang menghimpun banyak orang dari berbagai kabilah untuk memerangimu. Mereka akan menghalangimu agar tidak bisa masuk Masjidil Haram,” lapornya.
Mendengar laporan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pendapat para sahabat apakah harus melanjutkan perjalanan meskipun menghadapi risiko perang?
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Abu Bakar. “Kita datang hanya untuk menunaikan umrah, bukan untuk berperang. Namun, siapa pun yang akan menghalangi kita untuk memasuki Masjidil Haram, kita akan memeranginya.”
Kata-kata Abu Bakar itu mewakili suara para sahabat yang lain. Rasulullah pun memutuskan, “Kalau begitu, kita lanjutkan perjalanan!”
Kaum muslimin pun melanjutkan perjalanan dengan mengambil rute yang tidak biasanya. Rasulullah memilihkan rute yang sulit melewati celah-celah gunung untuk menghindari bentrokan. Yakni ke arah kanan, melewati Al-Hamsi menuju Tsaniyyatul Murar lalu turun ke Hudaibiyah.
Quraisy Menghalangi Kaum Muslimin
Seperti informasi intelijen Rasulullah, orang-orang Quraisy memutuskan untuk menghalangi kaum muslimin agar tidak bisa memasuki Masjidil Haram.
Meskipun punya kekuatan besar, orang-orang Quraisy merasa takut dengan kedatangan kaum muslimin meskipun mereka hanya berjumlah 1.400 orang. Pada Perang Ahzab saja, Quraisy dan sekutunya mampu menghimpun 10.000 pasukan. Tapi pasukan itu porak-poranda diterpa angin kencang setelah berpekan-pekan tertahan di luar Madinah oleh strategi khadaq (parit) kaum muslimin.
Maka, Quraisy mengambil sejumlah langkah untuk menghentikan kaum muslimin. Mulai dari mengirim utusan untuk membujuk agar Rasulullah kembali ke Madinah hingga mengirim pasukan untuk menghadang.
Utusan-utusan Quraisy
Pertama, mengirim Budail bin Warqa’ al-Khuza’i. Budail adalah orang yang dekat dengan Rasulullah karena berasal dari Bani Khuza’ah.
Kepada Budail, Rasulullah menegaskan bahwa niatnya adalah untuk umrah bukan untuk berperang. Ketika Budail menyampaikan hal itu kepada kaum Quraisy, mereka tetap marah. “Sekalipun kedatangannya tidak untuk berperang, dia sekali-kali tidak boleh masuk Mekkah. Atau kita akan menjadi pembicaraan seluruh bangsa Arab.”
Kedua, Quraisy mengutus Mikraz bin Hafsh. Rasulullah tahu Mikraz sosok pengkhianat. Namun, beliau tetap menegaskan apa yang beliau sampaikan kepada Budail.
Ketiga, Quraisy mengutus Al-Hulais bin ‘Alqamah. Hulais adalah pemimpin kabilah-kabilah di pegungan Mekkah. Tampaknya orang-orang Musyrikin Mekkah ingin memberikan pesan kepada Rasulullah bahwa mereka telah menghimpun banyak kekuatan termasuk kabilah-kabilah di sekitar Mekkah.
Rasulullah tahu bahwa Al-Hulais adalah seorang religius. Karenanya beliau bersabda kepada para sahabat, “Laki-laki ini dari suatu kaum yang masih mempedulikan soal-soal ketuhanan. Karena itu, giringlah binatang-binatang hadyu ke depannya agar ia melihatnya dengan mata kepala.”
Begitu Al-Hulais melihat binatang-binatang hadyu, ia segera berbalik sebelum bertemu Rasulullah lalu melaporkan kepada Quraisy bahwa kaum muslimin benar-benar mau beribadah, bukan mau berperang.
“Kamu duduk saja. Dasar orang kampung tidak tahu apa-apa,” kata tokoh Quraisy yang kesal dengan Al-Hulais.
Al-Hulais marah dengan hinaan itu. “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, kami tidak berteman dan mengikat perjanjian dengan kalian untuk ini. Biarkan saja Muhammad menunaikan tujuannya atau aku akan mengerahkan pasukan untuk melawan kalian!”
Hampir terjadi pertengkaran antara mereka sendiri kalau orang-orang Quraisy tidak melunak dan menenangkan Al-Hulais.
Keempat, Quraisy mengirim Urwah bin Mas’ud, pemimpin kaum Tsaqif. Quraisy mengirim sosok intimidatif ini dengan harapan kaum muslimin akan takluk. Namun, baru saja ia mengatakan beberapa kalimat kepada Rasulullah, Abu Bakar melontarkan kata-kata kasar kepadanya.
Urwah merasa kecut mengetahui Abu Bakar yang terkenal kalem bisa berubah sangat garang demi melindungi Rasulullah. Namun, Urwah tak mau menyerah. Ia melanjutkan pembicaraannya dengan hendak memegang jenggot Rasulullah. Al-Mugirah bin Syub’ah langsung memukul Urwah dengan pangkal pedangnya. Mendapat pukulan dari sepupunya sendiri, Urwah bangkit meninggalkan Rasulullah.
Kepada orang-orang Quraisy, ia mengatakan bahwa tidak mungkin kaum muslimin membiarkan Rasulullah terluka. Karena ia melihat dengan mata kepada sendiri bagaimana mereka berebut air bekas wudhu Rasulullah. Bahkan saat Rasulullah meludah, para sahabat berebut mendapatkannya.
Demikianlah, soliditas menjadi kekuatan utama kaum muslimin, sementara orang-orang musyrikin yang bertujuan melancarkan serangan psikologi (psy war) justru kena mental sendiri. Hati mereka terpecah belah.
Quraisy Mengirim Pasukan
Kegagalan utusan-utusan tersebut membuat tokoh-tokoh Quraisy semakin geram. Mereka pun mengirimkan pasukan untuk menghentikan laju pergerakan kaum muslimin.
Pertama, mereka mengirim 50 orang pasukan berani mati. Tujuannya, untuk menculik beberapa kaum muslimin dan menjadikan mereka tawanan.
Namun, yang terjadi justru di luar dugaan mereka. Komandan pasukan jaga kaum muslimin, Muhammad bin Maslamah berhasil menangkap pasukan berani mati itu.
Kedua, Quraisy mengirim pemanah. Setelah mendengar pasukan berani matinya tertangkap, mereka mengirimkan sekelompok pemanah. Namun, lagi-lagi mereka justru tertangkap.Sebanyak 12 orang menjadi tawanan kaum muslimin.
Ketiga, Quraisy mengirim 200 pasukan berkuda di bawah komando Khalid bin Walid. Pasukan berkuda ini tidak langsung menyerang tetapi mengintai kaum muslimin dan menunggu momen yang tepat untuk mendobrak.
Ketika kaum muslimin sedang shalat Zuhur, Khalid mengamati mereka. “Seharusnya tadi kita menyerang karena tadi itu merupakan momen terlemah kaum muslimin. Kita tunggu lagi, nanti saat mereka shalat Ashar, kita akan menyerang.”
Namun, Allah melindungi Rasululllah dan para sahabatnya. Allah menurunkan syariat shalat khauf. Khalid kaget saat melihat tata cara shalat kaum muslimin berbeda dengan sebelumnya. Pasukan berkudanya pun mandul tidak bisa berbuat apa-apa.
Khalid yakin bahwa kaum muslimin itu memiliki pembela. Kelak pada masa berlakunya perjanjian hudaibiyah, Khalid punya banyak waktu untuk merenung dan akhirnya masuk Islam.
Ada yang berpendapat bahwa tiga gelombang pasukan ini bukanlah manifestasi keputusan Quraisy untuk menyerang kaum muslimin. Namun hanya langkah sporadis. Di saat kaum muda Quraisy ingin memerangi Rasulullah, kaum tua dan para tokoh mereka tidak ingin berperang. Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah-lah yang menahan tangan mereka sebagaimana Surat Al-Fath ayat 24.
Rasulullah Mengutus Utsman bin Affan
Setelah utusan-utusan Quraisy menemui Rasulullah, kini giliran Rasulullah mengutus duta kepada mereka. Menyampaikan langsung tujuan kaum muslimin agar mereka tidak menghalangi Rasulullah dan para sahabat yang hendak umrah. Rasulullah juga melepaskan 70 tawanan yang berhasil mereka tangkap.
Awalnya, Rasulullah hendak mengutus Umar bin Khattab. Namun, Umar menyampaikan keberatan. Ia khawatir tujuannya tidak tercapai, malah yang terjadi adalah bentrokan.
“Wahai Rasulullah, utuslah Utsman bin Affan. Karena kerabatnya banyak di sana dan dia akan menyampaikan apa yang engkau kehendaki,” kata Umar.
Assabiqunal awwalun sekaligus menantu Rasulullah itu pun berangkat atas perintah Rasulullah. Abban bin Sa’id bin Ash memberikan perlindungan kepada Utsman sehingga dengan mudah ia masuk Mekkah dan bertemu tokoh-tokoh Quraisy. Utsman mendapat sambutan yang baik. Tokoh-tokoh Quraisy menjamunya, memintanya tinggal beberapa hari, dan mempersilahkannya untuk thawaf.
Utsman memenuhi permintaan itu tetapi tidak mau thawaf sebelum Rasulullah thawaf. Selama tiga hari, Utsman berada di Mekkah.
Bai’atur Ridwan
Sudah beberapa hari pergi tetapi Utsman belum juga kembali. Di saat yang sama, tersiar kabar bahwa Utsman terbunuh. Maka, Rasulullah mengumpulkan para sahabat di bawah sebuah pohon untuk berbai’at.
Dengan penuh semangat solidaritas atas kabar terbunuhnya Utsman, mereka berbai’at kepada Rasulullah untuk tidak lari dari peperangan. Bahkan sebagian sahabat berbai’at untuk siap mati.
Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai para sahabat yang terlibat dalam bai’atur ridwan tersebut. Allah mengabadikan dalam firman-Nya:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat. (QS. Al-Fath: 18)
Semua orang berbai’at kepada beliau kecuali Jadd bin Qais. Sosok munafik ini bersembunyi di balik unta saat para sahabat sedang berbai’at.
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Quraisy menyadari bahwa posisi mereka tidak menguntungkan. Apalagi mendengar adanya bai’atur ridwan. Karenanya, mereka segera mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perundingan dan perjanjian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyambut perundingan itu. Maka, kedua belah pihak sepakat dengan empat poin Perjanjian Hudaibiyah. Berikut ini isi Perjanjian Hudaibiyah:
1. Rasulullah dan kaum muslimin harus pulang tahun ini dan tidak boleh memasuki Mekkah kecuali tahun depan. Mereka boleh berada di Mekkah selama tiga hari dan tidak boleh membawa senjata kecuali senjata musafir.
2. Gencatan senjata di antara kedua belah pihak selama 10 tahun.
3. Barangsiapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, dia boleh bergabung. Demikian pula yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjiannya, dia juga boleh bergabung. Kabilah yang bergabung maka menjadi bagian dari pihak tersebut. Maka, penyerangan kepada suatu kabilah berarti penyerangan terhadap sekutu kabilah itu.
4. Siapapun orang Quraisy yang melarikan diri ke pihak Muhammad tanpa izin walinya, harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Sedangkan siapapun dari pihak Muhammad yang melarikan diri ke pihak Quraisy, tidak boleh dikembalikan kepada pihak Muhammad.
Rasulullah kemudian memanggil Ali bin Abu Thalib untuk menuliskan perjanjian tersebut. “Tulislah bismillaahirrahmaanirrahiim,” sabda Rasulullah kepada Ali.
Namun, Suhail menolak kalimat thayyibah ini. “Kami tidak mengenal Ar-Rahman. Tulislah bismikallaahumma.”
Para sahabat geram. Namun, Rasulullah menyetujuinya dan memerintahkan Ali untuk menuliskannya. Lalu beliau melanjutkan, “Tulislah, ini perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”
Belum selesai Rasulullah bersabda, Suhail langsung memotong. “Kalau kami meyakini kamu adalah utusan Allah, kami tidak akan memerangimu. Tulislah, ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdullah dengan Quraisy.”
“Aku tetaplah Rasulullah meskipun engkau mendustakannya,” jawab Rasulullah. Beliau kemudian menyuruh Ali menghapus kata Rasulullah yang tadi sudah ia tulis.
Para sahabat lebih geram lagi. Terlebih Umar bin Khattab. Sampai-sampai ia protes kepada Rasulullah. Beliau menjawab singkat, “Aku adalah Rasulullah dan tidak akan pernah mendurhakai-Nya.”
Kemenangan yang Nyata
Banyak sahabat yang kecewa dengan isi Perjanjian Hudaibiyah yang menurut mereka merugikan kaum muslimin. Sampai-sampai mereka tidak langsung melakukan ketika Rasulullah memerintahkan untuk menyembelih binatang hadyu dan mencukur rambut.
Rasulullah kemudian masuk tenda dan mendapatkan masukan dari istri beliau, Ummu Salamah. “Wahai Rasulullah, lakukan saja dan jangan bicara kepada siapapun sebelum engkau menyembelih unta dan mencukur rambutmu.”
Rasulullah melakukan saran Ummu Salamah. Melihat Rasulullah menyembelih untanya dan bercukur, para sahabat pun bergegas menyembelih binatang hadyu mereka masing-masing dan mencukur atau memendekkan rambutnya.
Kelak, mereka memahami bahwa isi Perjanjian Hudaibiyah ternyata sangat menguntungkan kaum muslimin. Allah menurunkan Surat Al-Fath dan menyebut Perjanjian Hudaibiyah sebagai fathun mubin (kemenangan yang nyata).
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (QS. Al-Fath: 1)
Di antara keuntungan kaum muslimin dari Perjanjian Hudaibiyah adalah:
1. Kaum muslimin tidak tersibukkan dengan perang melawan Quraisy sehingga bisa melebarkan dakwahnya ke berbagai penjuru. Rasulullah mengutus duta ke sejumlah negeri. Termasuk juga mengirim surat kepada Kaisar Romawi dan Kisra Persia.
2. Gencatan senjata juga menjadi momen bagi orang-orang Mekkah untuk memikirkan kebenaran hingga banyak di antara mereka yang mendapat hidayah dan masuk Islam.
3. Isi Perjanjian Hudaibiyah poin 4 ternyata juga menguntungkan kaum muslimin. Orang-orang Mekkah yang masuk Islam menjadi lebih tangguh sekaligus bisa berdakwah di sana. Sedangkan jika ada orang Madinah yang melarikan diri ke Mekkah, artinya justru Madinah bersih dari pengkhianat. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Maraji’ (Referensi):
- Sirah Nabawiyah (Ar Rakhiqul Makhtum) karya Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury
- Fiqih Sirah karya Syaikh Ramadhan Al Buthi
- Sirah Rasulullah karya Syaikh Mahmud Al Mishri
- Sirah Nabawiyah karya Syaikh Muhammad Ali Ash Shalabi
- Al Yatim karya Syaikh Muhammad Sameh Said
- Al Manhaj Al Haraki lis Siratin Nabawiyah karya Dr. Munir Muhammad Al Ghadban