Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abdullah bin Abu Bakar: Intelijen Hijrah Rasulullah

Abdullah bin Abu Bakar: Intelijen Hijrah Rasulullah

0
abdullah bin abu bakar
ilustrasi (adobe fiferly)

Hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar ash-Shiddiq ke Madinah tak lepas dari peran sahabat Nabi ini. Abdullah bin Abu Bakar, namanya. Ia seorang yang cerdas, shalih, dan berhati lembut.

Abdullah bin Abu Bakar adalah anak Abu Bakar As-Shiddiq dari istrinya, Qutailah binti Abdul Uzza. Bersama Abu Bakar, Qutailah mendapat karunia dua anak, yakni Abdullah dan Asma.

Menikah dengan Atikah binti Zaid, Abdullah menemukan cinta sejati dalam hidupnya, meskipun kecintaan ini nantinya memunculkan ujian berat bagi dirinya.

Intelijen Muda Rasulullah

Selama tiga hari, Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy. Keluarga Abu Bakar berjibaku mengamankan strategi persembunyian ini.

Asma’ binti Abu Bakar bertugas mengirimkan makanan kepada Rasulullah dan Abu Bakar di Gua Tsur. Rasulullah memerlukan informasi tentang langkah-langkah kaum Quraisy yang mengejarkan. Maka, Abdullah bin Abu Bakar yang mengemban misi penting ini. Ia menjadi intelijen dengan mendengarkan informasi penting untuk kemudian ia sampaikan kepada Rasulullah. Padahal saat itu, Abdullah baru menginjak usia baligh.

Lalu, Amir bin Fuhairah, pembantu Abu Bakar, bertugas menggembalakan kambing ke Gua Tsur untuk menghapus jejak Asma’ dan Abdullah. Juga agar Rasulullah dan Abu Bakar  bisa minum susu dari kambing-kambing tersebut.

Abu Ja’far at-Thabari menuturkan bahwa ketika Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi menghindari kejaran kaum Quraisy di gua Tsur, Abdullah bin Abu Bakar mendatangi mereka setiap malam menyampaikan berita tentang keadaan Makkah dan upaya pemuka Quraisy dalam mengejar Rasulullah. Menjelang dini hari, Abdullah baru kembali ke Makkah.

Baca juga: Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul

Ketika Cinta Melemahkan Militansi

Abdullah kemudian menyusul ayahnya hijrah ke Madinah. Ia juga mengikuti jejak ayahnya dengan penuh ketulusan. Ia senantiasa shalat berjamaah bersama Rasulullah dan aktif dalam medan jihad.

Abdullah menikah dengan Atikah. Namun, kecintaannya yang dalam terhadap Atikah mulai memengaruhi militansinya. Sampai membuat Abdullah sering tertinggal shalat berjamaah. Hal ini membuat ayahnya merasa perlu untuk memisahkan mereka.

Maka, Abu Bakar meminta Abdullah menceraikan Atikah. Sungguh permintaan yang sangat berat bagi Abdullah yang sangat mencintai Atikah. Namun, Abdullah adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Ia tak mau menentang perintah ayahnya tersebut. Dengan sangat terpaksa dan berat hati ia menceraikan Atikah.

Perceraian ini membawa dampak besar bagi Abdullah. Rasa rindunya begitu mendalam, bahkan ia mengungkapkan isi hatinya dalam syair-syair yang penuh kerinduan. Ia meratap:

Duhai Atikah, aku tak dapat melupakanmu meski sesaat,
Bulan pun tak mampu lukiskan rasa yang menggantung ini
Duhai Atikah, siang dan malam hatiku tersayat rindu

Tak pernah kulihat orang yang menderita pedih karena rindu
Seperti diriku, memutuskanmu dirimu yang tanpa dosa dan salah

Ketika sedang menunaikan sholat tahajud, Abu Bakar mendengar syair yang menyayat hati itu. Ia merasa kasihan melihat penderitaan batin putranya. Rupanya perceraian justru membuat Abdullah menderita dan sama sekali tidak bisa melupakan Atikah. Karena itulah Abu Bakar mengizinkan Abdullah untuk rujuk kepada Atikah.

Mendengar perkataan ayahnya yang mengizinkannya rujuk, kemuraman Abdullah seketika lenyap. Ia langsung menyambut gembira, “Saksikanlah, aku telah merujuknya.”

Baca juga: Abdullah bin Abbas

Wafatnya Abdullah bin Abu Bakar

Abdullah bin Abu Bakar telah belajar dari pengalaman. Memang sudah seharusnya seorang suami mencintai istrinya. Namun, cinta tak boleh membuatnya terlena. Dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya haruslah menjadi cinta utama melebihi cinta kepada siapa pun termasuk belahan jiwa.

Maka, Abdullah kini lebih bersemangat dalam jihad. Ia tak pernah meninggalkan peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketika panggilan jihad tiba untuk menghadapi perang di Thaif, Abdullah segera menyambutnya. Perang itu merupakan kelanjutan dari Perang Hunain. Orang-orang musyrik masih tak terima kaum muslimin memenangkannya.

Dalam perang yang terjadi pada tahun 8 hijiryah itulah Abdullah bin Abu Bakar terkena panah. Memang tidak sampai gugur. Namun, luka-lukanya tidak sembuh meskipun telah diobati. Akhirnya, Abdullah wafat tak lama setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Atikah, istri yang setia, melantunkan syair sebagai penghormatan bagi suaminya yang tercinta:

Aku kehilangan manusia terbaik setelah Nabi dan Abu Bakar…
kedua mataku tak henti berderai menangisimu

Dengan segala pengorbanan dan cinta yang dalam, Abdullah bin Abu Bakar meninggalkan kisah yang abadi sebagai teladan pengabdian, cinta, dan kerinduan yang ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:
Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
Sirah Nabawiyah Ar-Rakhiqul Mukhtum karya Syekh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri
Biografi Abu Bakar ash-Shiddiq karya Syekh Ali Muhammad ash-Shalabi