Beranda Suplemen Renungan Murojaah, Tak Hanya untuk Menghafal Al-Qur’an

Murojaah, Tak Hanya untuk Menghafal Al-Qur’an

2
murojaah
ilustrasi (adobe express)

Seorang pemuda merasa dirinya tak bakat menghafal Al-Qur’an. Ia merasa sulit menghafal, bahkan untuk surat-surat pendek sekalipun. Kalaupun berhasil menghafal hafalan baru, ia terlupa hafalan yang lama.

“Seberapa sering engkau murojaah?”
“Jarang, sih. Paling seminggu sekali sebelum kajian pekanan.”

Pemuda lainnya mengeluhkan bahwa ia sulit belajar agama. “Sudah belajar, tapi kayak tak paham-paham. Kadang ingat beberapa hal, ketika ustadznya menyampaikan pelajaran baru, pelajaran yang lama jadi lupa.”

“Seberapa sering kamu membaca kembali catatanmu, mengkaji ulang kitabnya, atau mendengarkan kembali rekaman ustadz tersebut?”
“Nggak pernah. Memang harus begitu ya?”

Di antara hal yang membedakan kita dengan para ulama adalah kesungguhan (mujahadah) dalam mencari ilmu. Termasuk di antaranya, kesungguhan murojaah. Ketika kita merasa tak bakat menghafal Al-Qur’an atau merasa sulit memahami ilmu, jangan-jangan itu bukan karena faktor kemampuan tetapi faktor kemauan dan kesungguhan.

Daftar Isi

Apa Itu Murojaah?

Murojaah (مراجعة) berasal dari kata raja’a (رجع) – yarji’u (يرجع) yang artinya kembali. Secara istilah, murojaah adalah mengulang kembali hafalan Al-Qur’an atau pelajaran agar hafal dan lebih memahaminya.

Ada istilah lain yang juga bermakna mengulang-ulang hafalan dan pelajaran yakni takrir dan mudzakarah. Terkadang ketiganya digunakan untuk maksud yang sama.

Murojaah merupakan salah satu metode untuk menghafal Al-Qur’an dan menjaga hafalan Al-Qur’an. Namun, tak hanya untuk menghafal Al-Qur’an, ia juga merupakan salah satu upaya efektif untuk menghafal dan memahami ilmu lainnya.

Pentingnya Murojaah

Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa Allah mengulang-ulang ayat, peringatan, dan tanda-tanda. Di antaranya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآَنِ لِيَذَّكَّرُوا

Sungguh telah Kami (jelaskan) berulang-ulang (peringatan) dalam Al-Qur’an ini agar mereka selalu ingat… (QS. Al-Isra’: 41)

Ketika menjelaskan ayat ini dalam Tafsir Al-Wajiz, Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, “Dan sungguh, dalam Al-Qur’an ini telah Kami jelaskan berulang-ulang peringatan dengan beraneka macam perupamaan, janji, dan ancaman agar mereka selalu ingat dan mengambil pelajaran.”

Salah satu metode belajar dalam Islam adalah mengulang-ulang (murojaah). Mengulang-ulang membaca Al-Qur’an agar hafal, mengulang-ulang pelajaran agar ingat, terus menerus thalabul ‘ilm (menuntut ilmu) agar hati tidak mati.

Al-Khatib Al-Baghdadi, seorang ulama sekaligus ahli hadits dan sejarawan abad 5 hijriyah, mengingatkan tentang pentingnya murojaah. Ia menggunakan istilah mudzakarah.

“Hati itu ibarat tanah, ilmu sebagai tanamannya, dan mudzakarah (mengulang-ulang, mengingat kembali dalam majelis) sebagai airnya. Jika air berhenti menyirami tanahnya, maka tanamannya pun akan kering,” kata Al-Khatib Al-Baghdadi.

Murojaahnya Para Ulama

Memang, sebagian ulama mendapatkan anugerah Allah berupa kejeniusan bawaan. Sejak lahir ia memang cerdas. Sejak kecil, otaknya sangat encer. Misalnya Ishaq bin Rahawaih yang hidup sezaman dengan Al-Khatib Al-Baghdadi. Ulama besar dalam bidang hadits dan fiqih yang Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits darinya. Ishaq bisa menghafal seperti melihat tulisan. Sekali ia melihat atau membaca hadits, seketika itu ia hafal.  

Contoh lain adalah Ma’mar bin Rasyid Al-Azdi, seorang tabi’ut tabi’in murid Qatadah. Sejak kecil, ia terkenal dengan hafalannya yang luar biasa. “Aku sudah menyimak hadits dari Qatadah sejak usiaku masih 14 tahun. Pada usia tersebut, tidak ada sesuatu yang aku dengar melainkan seperti tertulis di hatiku.”

Imam Tirmidzi juga seorang yang jenius dalam menghafal. Dalam perjalanannya menuju Mekkah, murid Imam Bukhari ini bertemu dengan seorang syekh ahli hadits. Ia pun meminta Syekh tersebut membacakan hadits. Setelah sekian lama membaca hadits, Syekh tersebut tiba-tiba menghentikannya.

“Apa engkau tidak malu kepadaku. Aku membacakan hadits dan kertasmu masing kosong. Engkau tidak mencatat sama sekali,” tegur Syekh tersebut.

“Wahai Syekh, aku langsung menghafalnya.” Syekh tersebut tidak langsung percaya. Lantas ia menguji Imam Tirmidzi dan ternyata ia telah menghafal seluruh hadits tadi.

“Apakah engkau sebelumnya sudah menghafal hadits-hadits dariku?” Syekh masih belum percaya kalau ada orang sehebat ini hafalannya.

“Belum, Syekh. Baru kuhafalkan ketika engkau mengucapkannya.”

Namun, ada juga ulama yang demikian keras berusaha baru Allah memberikan keistimewaan kepadanya. Misalnya Rabi’ bin Sulaiman yang awalnya tak paham-paham meskipun Imam Syafi’i berulang kali menjelaskan. Namun, ia tidak putus asa. Ia terus menerus menghafal dan berdoa hingga kemudian menjadi ulama besar, bahkan paling berjasa dalam menyebarkan madzhab gurunya.

Lepas dari jenius bawaan maupun tidak, banyak ulama yang sangat gigih dalam murojaah. Misalnya Imam Al-Muzani. Penulis kitab Syarhu as-Sunnah ini mengatakan, “Aku telah membaca ulang Ar-Risalah (karya Imam Syafi’i) sebanyak 500 kali. Setiap selesai membacanya, aku pasti mendapatkan pelajaran baru.”

Tak Hanya untuk Menghafal Al-Qur’an

Murojaah bukan hanya untuk menghafal Al-Qur’an. Namun, ia adalah metode belajar yang juga efektif untuk memahami dan menguasai suatu ilmu. Ia juga menjadi bentuk tarbiyah dzatiyah (tarbiyah mandiri). Yakni usaha pribadi untuk menempa dan meningkatkan kapasitas serta memperbaiki diri.

Karenanya kita lihat betapa banyak ulama mencontohkan mengulang-ulang membaca kitab dan mengulag-ulang hafalan. Imam Nawawi juga biasa mengulang-ulang hafalan atau membaca kitab sambil berjalan.

Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al-Abhari, ulama fiqih ternama pada abad 4 hijriyah, membaca ulang kitab sebanyak puluhan hingga ratusan kali. “Aku telah membaca Mukhtashar Ibnu Abi al-Hakam sebanyak 500 kali, Al-Asadiyah sebanyak 75 kali, Al-Muwaththa’ sebanyak 45 kali, dan Mukhtashar al-Barni sebanyak 75 kali.”

Dalam rangka mentradisikan murojaah di kalangan santri, banyak pesantren yang menjadikan kitab tertentu sebagai wirid. Setiap saat dikaji, begitu khatam, diulangi lagi. Misalnya ada yang pesantren menjadikan Ihya’ Ulumuddin sebagai wirid. Ada yang memilih Subulus Salam. Ada pula yang memilih Al-Hikam. Bagaimana dengan kita? Siap bersungguh-sungguh dalam murojaah? [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

2 KOMENTAR

  1. Masya Allah, semoga kita bisa mempraktekan murojaah ini sebagaimana telah dipraktekan oleh Ulama2 besar terdahulu. Aamiin yaa rabbal alamin

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini