Kali ini kita akan menyusuri sejarah seorang sahabat Nabi yang membuat penduduk Madinah iri. Bagaimana orang lain tidak iri, saat semuanya ingin Rasulullah singgah di rumah mereka, ternyata yang terpilih adalah Abu Ayyub Al-Anshari.
Sejarah hidup Abu Ayyub adalah sejarah tentang kerinduan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kerinduan yang kemudian berbalas pertemuan. Pertemuan yang kemudian melahirkan cinta dan semangat berkorban.
Bahkan, hingga berabad-abad setelah wafat, sosoknya masih terus menjadi inspirasi. Di saat Muhammad Al-Fatih hampir putus asa karena belum berhasil menaklukkan Konstantinopel, sejarah perjuangan Abu Ayyub membangkitkan kembali semangatnya.
Daftar Isi
Kerinduan Abu Ayyub pada Sang Nabi
Abu Ayyub al-Anshari lahir dengan nama asli Khalid ibn Zaid bin Kalib. Ia berasal dari suku Khazraj, salah satu suku besar di Madinah. Ayahnya adalah Zaid bin Kalib dari Bani Najjar, ibunya adalah Hindun binti Said, adalah wanita mulia. Sementara istrinya, Ummu Ayyub bint Qais, juga berasal dari kalangan Anshar.
Abu Ayyub tumbuh dalam lingkungan yang penuh semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun sukunya terlibat perang saudara berkepanjangan dengan suku Aus, ia mendambakan perdamaian dan persatuan di Yatsrib.
Ketika mendengar ada nabi terakhir yang menerima wahyu di Makkah dan mengajak umat manusia untuk meninggalkan penyembahan berhala, Abu Ayyub merasa terpanggil untuk menemui Sang Nabi. Selain seruan dakwah itu sesuai dengan kejernihan fitrahnya, ia juga berharap, Sang Nabi bisa menghentikan perang saudara di negerinya.
Suatu hari, ketika ia bersiap untuk pergi menuju Makkah, ia berkata kepada istrinya, “Telah sampai di Ummul Qura seorang nabi yang mengajak manusia untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan berhala. Aku sungguh ingin menemuinya dan mendengar ucapannya.”
Istrinya, dengan penuh doa dan harapan, mengantar kepergian Abu Ayyub yang penuh semangat untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Baca juga: Abu al-Ash bin ar-Rabi’
Perjumpaan dengan Sang Nabi
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, Abu Ayyub akhirnya sampai di Makkah dan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian setiap perkataan Rasulullah yang menyampaikan wahyu dari Allah. Abu Ayyub begitu kagum dengan kepribadian Nabi yang penuh kasih sayang dan kewibawaan. Pancaran keimanan dan kekuatan ruhiyah menguar menyentuh jiwanya. Ia merasa telah menemukan petunjuk hidup yang selama ini ia cari, yaitu jalan menuju Allah yang Maha Esa.
Setelah berjumpa dengan Rasulullah, Abu Ayyub menyatakan keimanannya dengan sepenuh hati dan bertekad untuk mendukung perjuangan Nabi Muhammad hingga akhir hayatnya. Ia berjanji untuk membantu Nabi dalam menyebarkan dakwah Islam dan melindunginya dari segala ancaman. Tak hanya sekadar berbicara, Abu Ayyub juga membuktikan komitmennya dengan bergabung dalam barisan umat yang setia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pada musim haji tahun ke-13 kenabian, Abu Ayyub ikut serta dalam perjalanan menuju Makkah bersama lebih dari 70 orang dari Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Mereka bertemu dengan Rasulullah dan menegaskan kesiapan mereka untuk berjuang bersama dalam menegakkan agama Allah.
Dalam Baiat Aqabah kedua tersebut, ia dan 70 rekannya dari Yatsrib berjanji setia untuk taat kepada Allah dalam keadaan sibuk maupun senggang, berinfak dalam kondisi sempit maupun luang. Juga berjanji setia untuk siap berjuang di jalan Allah dengan tegar dan siap menghadapi celaan. Serta melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana melindungi istri dan anak mereka sendiri.
Baca juga: Abdurrahan bin Auf
Menjadi Persinggahan Rasulullah
Usai Baiat Aqabah kedua, Abu Ayyub kembali berpisah dengan Rasulullah. Maka, kerinduan menjadi tema hidupnya selama beberapa lama. Hingga, hari yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan hijrah ke Madinah. Penduduk Yatsrib, yang telah menanti dengan penuh sabar, menyambut kedatangan Nabi dengan penuh kebahagiaan. Mereka berbondong-bondong menuju batas kota untuk menyambut tamu agung yang sangat mereka rindukan.
Setiap rumah berusaha agar Nabi Muhammad singgah di rumah mereka. Namun, Rasulullah, dengan kebijaksanaan yang tinggi, berkata kepada mereka, “Biarkan ia jalan. Unta ini hanyalah tunggangan.” Ia kemudian memilih untuk singgah di rumah yang untanya berhenti di sana. Qadarullah, unta itu akhirnya berhenti di halaman rumah Abu Ayyub al-Anshari.
Kedatangan Rasulullah ke rumah Abu Ayyub merupakan sebuah kehormatan yang luar biasa. Seluruh keluarga Abu Ayyub sangat bahagia, merasa diberkahi dapat menyambut Nabi di rumah mereka. Tentu saja, meskipun banyak orang yang merasa kecewa karena rumah mereka tidak terpilih sebagai tempat persinggahan Nabi, mereka tetap menerima kenyataan dengan lapang dada. Bagi Abu Ayyub dan istrinya, kehormatan ini adalah puncak kebahagiaan mereka.
Namun, meskipun rumah mereka menjadi tempat tinggal Rasulullah, Abu Ayyub dan istrinya merasa tidak nyaman. Rumah mereka memiliki dua lantai, dan mereka berencana menempatkan Rasulullah di lantai atas. Namun, Rasulullah dengan penuh rasa kasih dan rendah hati memilih untuk tinggal di lantai bawah agar orang-orang yang ingin menemuinya tidak merasa kesulitan. Keputusan Nabi ini menunjukkan betapa besar hati dan kemuliaan beliau.
Abu Ayyub dan istrinya merasa sangat tersentuh dan merasa tidak pantas tinggal di atas Rasulullah. Mereka khawatir jika ada sesuatu yang tidak pantas terjadi, seperti tumpahan air yang bisa mengenai beliau. Namun, Rasulullah dengan senyuman dan ketulusan hati memintanya untuk tetap tinggal di lantai atas, tanpa perlu khawatir.
Baca juga: Abdurrahman bin Abu Bakar
Pengabdian dan Kedermawan Abu Ayyub
Abu Ayyub al-Anshari dikenal sebagai seorang yang dermawan dan sangat memuliakan tamu. Ia selalu siap memberikan yang terbaik untuk orang yang datang ke rumahnya. Suatu ketika, Rasulullah bersama Abu Bakr datang ke rumahnya, dan Abu Ayyub dengan sukacita menghidangkan berbagai makanan terbaik untuk mereka.
Setelah makan, Rasulullah bersabda, “Demi zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, nikmat ini akan mendapat ganjaran pada hari kiamat kelak.” Ini adalah sebuah penghargaan bagi Abu Ayyub yang telah menyambut tamunya dengan penuh kasih.
Selain menjadi tuan rumah yang baik, Abu Ayyub juga selalu mendampingi Rasulullah dalam berbagai perjuangan untuk menegakkan Islam. Ia ikut serta dalam peperangan-peperangan besar seperti Perang Badar, Perang Uhud, dan berbagai pertempuran lainnya yang umat Islam hadapi. Ia juga berjuang di bawah kepemimpinan Khalifah Ali dan berpartisipasi dalam penaklukan Konstantinopel pada masa Khalifah Muawiyah.
Baca juga: Abdullah Dzul Bijadain
Kisahnya Menjadi Inspirasi Abadi
Abu Ayyub semakin menua. Ketika Muwaiyah mengirim pasukan untuk menaklukkan Konstantinopel, ia berkata kepada anak-anaknya: “Siapkan perbekalanku.”
“Ayah, engkau selalu ikut berperang bersama Rasulullah. Kini engkau sudah tua dan kakimu tidak sempurna. Biar kami saja yang berangkat berperang, engkau di rumah saja.”
Abu Ayyub tidak terima. Ia langsung menegur ptranya dengan membaca ayat: “Infiruu khifaafan wa tsiqaalan. Berangkatlah berperang baik dalam kondisi ringan atau berat. Ringan itu bagi kalian, berat itu bagiku.”
Anak-anaknya tak mampu mencegah ketika Abu Ayyub akhirnya tetap berangkat berjihad. Meskipun usianya sudah lebih dari 80 tahun, ia menjadi motivator bagi pasukan Islam yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah itu.
Di atas laut, tahun 50 hijriah, Abu Ayyub jatuh sakit. Ketika ia merasa ajal sudah dekat, Sahabat Nabi ini berpesan kepada pasukan untuk memakamkan jenazahnya di tempat terjauh yang dapat mereka tempuh. Akhirnya, Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di dekat Konstantinopel, yang sekarang menjadi Istanbul, Turki.
Tujuh abad kemudian, tepatnya pada April 1453, Muhammad Al-Fatih melanjutkan misi yang sama. Ia hampir putus asa karena sudah 40 hari menyerang, benteng Konstantinopel tetap tegak berdiri. Pasukan Islam tidak mampu menembusnya.
Syaikh Aaq Syamsuddin mengajak Muhammad Al-Fatih untuk mencari makam Abu Ayyub Al-Anshari. Setelah menemukannya, ia menyemangati muridnya itu. “Abu Ayyub dalam usia yang sudah tua dan kakinya pincang, capaiannya sejauh ini. Engkau yang masih muda dan memimpin 200.000 pasukan. Insya Allah engkaulah yang Rasulullah maksudkan sebagai pemimpin terbaik dalam hadits beliau.”
Muhammad Al-Fatih kembali bersemangat. Ia juga menemukan ide yang tak pernah terpikir siapa pun; menyeberangkan kapal melalui bukit. Sehingga mereka bisa menyerang titik lemah benteng Konstantinopel, mengejutkan lawan, dan akhirnya Allah berikan kemenangan pada 29 Mei 1453.
Semoga Allah merahmati Abu Ayyub al-Anshari. Perjuangannya menjadi teladan hingga masa Muhammad Al-Fatih dan generasi-generasi setelahnya sepanjang masa. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]
Referensi:
- Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
- Sirah Nabawiyah Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy
- Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya