Beranda Suplemen Opini Bisu di Hadapan Pembantaian Wartawan Gaza

Bisu di Hadapan Pembantaian Wartawan Gaza

pembantaian wartawan gaza
Wartawan Al Jazeera di Gaza Utara, Anas Al Sharif

Hanya beberapa jam setelah Netanyahu menyelenggarakan konferensi pers untuk menyampaikan keinginannya menguasai Gaza secara keseluruhan pada dunia, suara dari dalam Gaza diberangus. Israel mengebom tenda para wartawan di halaman RS Al Syifa. Wartawan Al Jazeera di Gaza Utara, Anas Al Sharif beserta timnya syahid.  Ini upaya Israel memastikan kebrutalan penaklukan Gaza secara total itu tidak terekam dan tidak tersebar ke dunia luas.

Anas adalah wartawan ke-237 Gaza yang syahid dalam tugasnya sejak Oktober 2023. Tim Anas termasuk tim terakhir wartawan Al Jazeera di Gaza Utara. Bersamanya, empat kru Al Jazeera yang lain juga syahid; Muhammad Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Muhammad Noufal, Moamen Aliwa. Beberapa menit sebelum syahid, Anas melaporkan pengeboman beruntun di Kota Gaza.

Hani Mahmud, wartawan Aljazeera Saluran Inggris, mengatakan Anas dan teman-teman dibunuh karena reportase mereka tentang pelaparan Israel pada Gaza dan bencana kelaparan. Militer Israel mengakui mereka sengaja membunuh Anas karena Anas, kata Israel, adalah pemimpin Hamas.

Tuduhan ini ditolak Muhammad Shehada, ahli HAM dari Euro-Med Human Right Monitor. “Rutinitas Anas sepanjang hari adalah berdiri di depan kamera, sejak pagi sampai malam,” kata Muhammad.

Tidak sekali ini Israel menuduh wartawan sebagai anggota Qassam. Sebelum Anas, wartawan lain juga dituduh demikian. Anas dan wartawan lain berkeras mengatakan bahwa mereka adalah wartawan yang tidak terlibat dengan kelompok manapun. Mereka berusaha menyampaikan informasi secara profesional dan objektif.

Ada momen di mana Anas secara langsung melaporkan pengeboman rumah di Jabaliya pada 11 Desember 2023. Dari puluhan penghuni rumah itu, salah satu korbannya adalah bapak Anas yang berusia 90 tahun. Pada 22 November sebelumnya, Anas menerima ancaman dari IDF melalui telepon. Anas diperintahkan untuk berhenti melakukan reportase dan segera meninggalkan Gaza Utara. Anas menolak.

Level profesionalitas Anas adalah, saat membaca lokasi dan pemilik rumah yang dibom, Anas terdiam sebentar. Setelah diam, Anas menjelaskan pemilik rumah adalah Al Sharif. Di luar tangkapan kamera ada suara yang menanyakan apakah itu rumah keluarga Anas. Anas mengiyakan.

Anas sedang dihukum dengan membunuh keluarganya. Metode pemberangusan wartawan ini dilakukan Israel secara konsisten. Wael Al Dahdouh, pemimpin Aljazeera biro Gaza, kehilangan belasan anggota keluarga, termasuk istri, putri, putra, dan cucunya. Ini yang menyebabkan wartawan memilih tidak tinggal bersama keluarganya.

IDF menggunakan AI, data Meta untuk melancarkan operasi ‘lavender’ dan ‘di mana ayah’. Berdasarkan laporan investigasi majalah +972 dan beberapa media internasional seperti Guardian, IDF menggunakan operasi ini untuk melacak target hingga kembali ke rumah mereka. Saat mereka bersama keluarga, mereka dibom.

Suara Kolega Seprofesi

Antara yang merupakan kantor berita negara memberitakan kesyahidan Anas dengan ‘Israel Klaim Tewaskan Jurnalis Al Jazeera’. Antara menulis bahwa Anas dituduh sebagai pemimpin sel Hamas yang bertanggung jawab atas serangan roket. Antara adalah BUMN milik negara dan menjadi sumber resmi pemerintah sekaligus menyediakan berita untuk media di Indonesia.

Framing apa yang sedang dibangun Antara dengan berita seperti ini?

Bisnis.com, Kontan.co.id, CNBC, Detik serentak menyebutkan framing senada dengan Antara di atas. Serangan Israel ke Gaza Tewaskan Jurnalis, Tuding Korban Terlibat Teroris (Detik). Israel bunuh Jurnalis Al Jazeera yang Dituduh sebagai Pimpinan Hamas (Bisnis.com). Israel Bunuh 5 Jurnalis Al Jazeera di Gaza, Tuduh Pimpin Hamas (CNBC). Posisi klaim yang dimasukkan ke judul berita menunjukkan media memberikan spotlight, menjadikan klaim itu menjadi hal yang paling penting. 

Judul di atas menyandingkan fakta (Anas tewas) dengan narasi pembenaran yang berasal dari pelaku (tuduhan sebagai pemimpin Hamas).  Media memberikan ruang pada pada klaim Israel yang tidak diverifikasi sebelumnya. Alih-alih menghadirkan simpati pada jurnalis korban, media menghadirkan keraguan bahwa korban ‘mungkin’ bukan jurnalis murni. Framing ini mengalihkan fokus pembaca dari kejahatan perang Israel pada legitimasi dan identitas target.

Antara adalah kantor berita resmi negara, menjadi sumber rujukan media lainnya. Kalau framing awal Antara sudah memuat bingkai ini, maka framing yang sama akan menyebar seperti yang kita lihat pada media lain. Dalam isu sensitif ini, Antara bisa jadi menunjukkan posisi editorial negara, yang menyalahkan pejuang media. Apa demikian? Dan di mana suara organisasi kewartawanan?

Owen Jones menjelaskan keadaan ini dengan getir. “Jurnalis Palestina mempertaruhkan nyawa untuk menyampaikan kebenaran tentang genosida Israel di Gaza, tapi mereka diperlakukan seperti sampah oleh koleganya dari Barat.”

Oleh kolega dari Timur juga sepertinya.

Juli lalu, Anas tidak bisa menahan tangis saat melihat seorang ibu pingsan karena kelaparan. Pada 20 Juli itu, diperkirakan 1,4 juta warga Gaza tidak makan selama tiga hari. Anas tidak sanggup meneruskan reportasenya. Lelaki di sekitar Anas menguatkan. “Kamu kuat Anas. Jangan menyerah. Kamu suara kami.”

Suara bangsa yang sedang digenosida telah padam. []

Penulis: Dr. Maimon Herawati, M. Litt
Direktur Smart 171 dan Dosen Jurnalistik Fikom Unpad

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini