Beranda Kisah-Sejarah Kisah Nyata Laki-laki Bersayap Bidadari dan Sebuah Nasofaring

Laki-laki Bersayap Bidadari dan Sebuah Nasofaring

Meia Seis

Apa arti sehat dan ada bagimu? Kami berjalan di lorong yang sempit. Remang. Sumpek. Di kawasan Pasar Minggu. Tak jauh dari dua convenience store.

Dia ada di lantai dua. Kami harus menaiki tangga. Perlu kehatian lebih. Lengah sedikit bisa terpeleset.

Teman-teman yang lain sudah mulai tilawah di teras. Orangtua teman si sakit ini yang minta.

Akhirnya saya ikut tilawah. Mata tertuju pada sosok yang terbujur di dalam. Badannya kurus. Sangat kurus. Tinggal lunglit. Tulang yang hanya berbalut kulit.

Sosok itu tak bisa bicara.

Lemah pendengaran.

Tak bisa makan.

Hanya minum.

Hanya tertidur di kasur.

Air ludahnya tak berfungsi.

Penglihatannya melemah. Ada guratan-guratan hitam di daerah mata.

“Terkena kanker. Nasofaring,” seorang teman lain memberi tahu.Umurnya baru 28 tahun. Masih muda. Dengan telaten dan sabar ibunya merawatnya.

Penulis pun mencari tahu apa itu Nasofaring. Daerah di belakang hidung dan tepat di atas bagian belakang tenggorokan disebut nasofaring. Lapisan sel nasofaring dapat menjadi kanker dan menimbulkan kanker nasofaring atau NPC.

Berdasarkan dari Pendaftaran Kanker Singapura untuk tahun 2003-2007, sekitar 237 kasus dilaporkan setiap tahunnya. Nasofaring telah pindah dari posisi kelima ke posisi keenam kanker paling umum yang terjadi pada pria dan tidak lagi berada di antara sepuluh kanker paling sering yang terjadi pada wanita di Singapura. Kanker ini terjadi pada pria lebih sering daripada wanita dan terjadi antara usia 35 sampai 55 tahun. Kanker jenis ini lebih sering terlihat di antara orang-orang Cina. Ini tidak umum di Amerika Serikat atau Eropa.

“Kayak merawat bayi saja,” kata ibunya dengan logat jawa, dengan senyum sumeh tanpa beban. Ia menyuapi anak laki-lakinya itu dengan sendok yang berisi air mineral gelasan.

Ketika masih sehat dulu, ia aktif bergerak, ikut mukhoyyam, pekanan, banyak berbuat dalam barisan dakwah. Kesana kemari tanpa lelah. Badannya dulu gagah dan berisi. Sekitar sebulanan lalu ketika masih mampu berjalan, ia memeriksakan kesehatannya sendiri, naik taksi ke Dharmais.

“Awalnya mengeluh, ‘telinga ana sakit sekali, seperti ada dengungan luar biasa’, ” tutur teman yang lainnya.

Setiap hari ibunya merawat anak bungsunya itu seorang diri. Menggantikan baju, mengelap dan membersihkan kotorannya. Perempuan tua itu sudah berpisah dengan suaminya. Divorce.

“Mak, nanti kalau saya meninggal, uang bulanan kontrakan (bagian saya) tolong dibagikan ke anak yatim juga ya,” kata ibunya menirukan ucapan sosok itu ketika masih keadaan ‘normal’.

Kami hanya mengangguk, sekali waktu bertanya tentang banyak hal.

Bulan Januari nanti ibu itu akan berangkat umrah. “Uangnya dari hasil tabungan dia,” ucapnya.

“Kamu lihat apa, Nak, ke atas? Banyak bidadari ya di sana? Iya, nanti kalau ke surga kamu akan ketemu banyak sekali bidadari,” kata ibunya sambil mengelus kepala anaknya.

Di ruang tamu yang cukup untuk enam orang itu seperti merasakan kesunyian. Mendadak ada yang basah di dalam hati.

Tiga hari setelah menulis ini, penulis mendapati kabar; laki-laki bersayap bidadari itu telah berpulang. Ia meninggal. Innalillahi wa innalillahi rajiun. [Paramuda/ BersamaDakwah]