Beranda Kisah-Sejarah Kisah Nyata Air Wudhu Tukang Ojek Pangkalan

Air Wudhu Tukang Ojek Pangkalan

Wartakota

“Mas, tungguin ya?”

Saya menoleh ke arah laki-laki bulat berjenggot alakadar itu.

“Kita sholat bareng.” ucapnya sambil memutar keran. Air mulai mengucur.

Seperti pernah melihat, tapi memori di kepala tak cukup kuat mengingat. Ketemu di mana ya?

Di stasiun? Di toko buku? Atau dia panitia penerimaan mahasiswa baru Nanyang Technology University? Ah, ngacau…

Usai wudhu ia mengganti kaosnya dengan koko, mengganti jeans belelnya dengan sarung. Lalu memercikkan minyak wangi.

Ketemu dimana ya…

“Mas yang jadi imamnya ya?”

Ia pun iqomat. Merdu suaranya.

Saya tanggalkan memori sesaat.

Alquran berlembaran yang menua ia ambil. Mulai tilawah. Lagi-lagi suaranya merdu. Lagi-lagi memori saya bekerja lagi.

Ketemu di mana ya?

Sesampai di pertigaan baru ingat. Dia, laki-laki itu, yang memarahi saya di tempat yang sama saat saya mengingatnya. Dulu memarahi dan meminta saya turun dari ojek online. Sebab, katanya, daerah itu masih wilayah kekuasaan opang.

Umar bin Khattab. Kita mengenal nama itu. Salah seorang yang permusuhannya begitu menjalar kepada Nabi Muhammad saw. Ada hasrat kuat dalam dirii Umar untuk membunuh beliau.

Suatu malam Umar mendapati Rasul berjalan menuju Ka’bah. Kesempatan ini tak disiakan oleh Umar. Ia membuntuti. Di depan pintu Ka’bah Rasul shalat. Umar pun masuk ke dalam Ka’bah lewat pintu satunya yang saling bertolak belakang. Ia membuka pintu yang ada di hadapan Rasul. Kini Umar dan Rasul hanya terpisah dengan selembar kain penutup Ka’bah. Mencekam.

Pedang di genggaman Umar. Erat. Sorot mata yang tajam. Namun ada suara alunan yang begitu memesona hati Umar. Alunan ayat Al Quran yang dibaca Rasul. Pada saat itu Rasul membaca surat Al Haaqqah. Umar menyimak bacaan itu. Sampai pada ayat ke 40, Umar bergumam dalam hatinya, “Kalimatnya seperti syair yang indah”. Maka saat itu pula Allah SWT menjawab melalui ayat ke 41,

“Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”

Umar terkejut, “Hei, mengapa ia tahu isi hatiku. Apakah ini sebuah sihir?”

Lagi, Allah SWT menjawab dengan firman:

“Dan bukan pula perkataan tukang sihir. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.” (AlHaqqah: 42)

Jawaban firman Allah itu melunakkan hati Umar dan ia urung membunuh Rasul malam itu.

Ya, Allah…semua orang bisa berubah.

Tak terbayang bagaimana ketika itu jika saya terpancing kemarahannya untuk mencaci balik? Bagaimana kalau kata-kata lacur ikut meluncur?

Oh, hati, hati, memang perlu hati-hati. Ada hak memarahi, namun itukah jiwa rabbani?

Wallahua’lam

[Paramuda/ BersamaDakwah]