Kala itu itu, istri Rasulullah SAW, Khadijah binti Khuwalaid Al-Kubra wafat. Tidak lama kemudian, disusul wafatnya Abu Thalid, paman Rasulullah SAW. Di tahun tersebut, Rasulullah SAW begitu berduka. Lalu tidak sedikit yang menyebut masa itu sebagai “Tahun Kesedihan” atau am al-huzn. Benarkah demikian?
Di dalam ath-Thabaqat, Ibnu Ishaq menyatakan jarak waktu antara wafatnya Khadijah ra. dan Abu Thalib adalah satu bulan lebih lima hari.
Sebagaimana dinyatakan Ibnu Hisyam, Khadijah adalah punggawa kebenaran terhadap ajaran Islam. Rasulullah SAW sering bercerita kepada Khadijah untuk mendapatkan ketenangan. Adapun Abu Thalib adalah pelindung Rasulullah yang selalu membantu beliau menghadapi kaumnya.
Ibnu Hisyam mengatakan, setelah Abu Thalib meninggal dunia, orang-orang kafir quraisy semakin berani menyakiti Rasulullah SAW. bahkan, dengan cara-cara yang tidak pernah mereka lakukan selama Abu Thalib masih ada seorang pandir Quraisy yang berani mendekati Rasulullah kemudian menaburkan debu ke atas kepala beliau yang mulia. Rasulullah SAW pulang dengan kepala berdebu. Salah seorang putri Rasulullah membersihkan debu itu sambil menangis. Namun, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai putriku, janganlah engkau menangis. Sesungguhnya Allah selalu menjaga ayahmu.”
Jika Rasulullah menyebut wafatnya Khadijah ra dan Abu Thalib sebagai “Tahun Kesedihan”, seharusnya umat Islam ikut berkabung seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Namun barang tentu pemahaman tentang ini jelas-jelas salah.
Rasulullah tidak pernah berduka secara lebay (berlebihan), apalagi karena berpisah dengan Abu Thalib dan Khadijah ra. Rasulullah tidak menyebut tahun itu dengan “Tahun Kesedihan” hanya karena beliau baru saja ditinggal anggota keluarga. Istilah itu muncul karena Rasulullah merasa bahwa setelah wafatnya kedua orang terdekat tersebut, pintu dakwah yang semula terbuka lebar mulai menyempit. Tak dipungkiri, ketika Abu Thalib masih hidup, Rasulullah mendapatkan medan dakwah yang luas dan jalan yang beragam untuk mengarahkan umat manusia menuju kebenaran. Rasulullah tentu memandang jika hal itu dapat tercapai, maka berarti dakwahnya telah berhasil.
Setelah Abu Thalib wafat, semua kesempatan itu tiba-tiba tertutup rapat. Apapun upaya yang beliau lakukan, selalu saja ada musuh yang menyerang. Ke manapun Rasulullah pergi, semua jalan seakan-akan tertutup baginya. Jika begitu, wajar jika Rasulullah khawatir dakwahnya akan terhenti, tidak ada yang sudi mendengar seruannya lagi, apalagi mengimani ajaran yang beliau bawa. Semua itu tentu menorehkan kesedihan mendalam di hati Rasulullah, sebab beliau tidak lagi dapat menjalankan perintah Allah dengan baik. Itulah yang mendorong Rasulullah menyebut tahun kesepuluh tahun kenabiannya dengan sebutan “Tahun Kesedihan” . Karena demikian berat gangguan yang harus beliau hadapi dalam menempuh jalan dakwah.
Perlu diketahui, kesedihan terbesar Rasulullah adalah ketika manusia menolak beriman kepada kebenaran yang beliau bawa. Perasaan ini muncul berkali-kali pada diri Rasulullah yang sangat mendamba umatnya mengikuti jalan kebenaran.
Wallahua’lam.
[Paramuda/BersamaDakwah]