Lanjutan dari Zainab, Mengutamakan Ketaatan Kepada Allah Ketimbang Kepada Suami
Tidaklah mengherankan melihat keempat putri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam beriman kepada risalah yang beliau bawa.
Sebab, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah ayah mereka, dan sebelum itu beliau adalah orang jujur yang terpercaya.
Sehingga mereka semua masuk Islam tanpa ada keraguan sedikit pun. Dan itulah hal paling kecil yang bisa mereka lakukan.
Setelah itu, ada beberapa orang dari kalangan laki-laki Makkah yang masuk Islam, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Zubair bin Awwam.
Merekalah yang menyokong dakwah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan saling berbagi dengan beliau dalam menghadapi kezhaliman dan kesewenang-wenangan kaum Quraisy yang masih kafir.
Adapun suami Zainab, Abu Al-Ash, saat itu sedang berada dalam suatu perjalanan untuk berdagang.
Pada saat kembali, ia mendengar dari orang-orang musyrik tentang sebuah agama baru yang diserukan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Abu Al-Ash masuk rumah untuk menemui istrinya Zainab dan mulai mengucapkan apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrik tentang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan agamanya.
Saat itulah, Zainab Radhiyallahu Anha mengambil sikap yang kokoh, sikap orang-orang besar, sikap para pahlawan, dan memberitahu suaminya bahwa ia telah masuk Islam dan beriman terhadap semua yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Zainab tidak berhenti sampai di sana, ia bahkan mengajak suaminya untuk ikut masuk Islam.
Akan tetapi suaminya menolak dan memilih untuk tetap dalam kekufuran dan kemusyrikannya.
Abu Al-Ash berkata,
“Sungguh aku tidak ingin dikatakan bahwa suamimu telah mengecewakan kaumnya, dan mengufuri nenek moyangnya hanya demi menyenangkan istrinya.”
Pada peristiwa perang Badar, Abu Al-Ash memutuskan untuk ikut bergabung dalam barisan yang berlawanan dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan meninggalkan istri dan kedua anaknya di Makkah.
Abu Al-Ash tidak mempedulikan istrinya yang memintanya untuk tetap tinggal di Makkah dan tidak ikut bersama orang-orang musyrik.
Dengan kehendak Allah Ta’ala, perang Badar itu berakhir dengan kemenangan kaum muslimin. Sementara itu, Abu Al-Ash sendiri jatuh sebagai tawanan di tangan kaum muslimin.
Ketika penduduk Makkah mendengar berita tentang keharusan untuk menebus para tawanan.
Zainab mengirimkan tebusan untuk menebus suaminya, dan untuk itu ia mengirimkan sejumlah harta termasuk di dalamnya sebuah kalung.
Kalung itu sendiri memiliki kenangan pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena kalung itu tadinya adalah milik dari istrinya Khadijah binti Khuwailid, yang diberikannya kepada Zainab saat ia mulai hidup berumah tangga dengan Abu Al-Ash.
Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya, sehingga beliau menjadi sangat terharu dan berkata kepada para shahabatnya agar melepaskan Abu Al-Ash,
“Jika kalian berkenan untuk membebaskan tawanannya, maka bebaskanlah ia.”
Para shahabat berkata, “Baik wahai Rasulullah.”
Para Shahabat pun membebaskan Abu Al-Ash.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga meminta Abu Al-Ash berjanji untuk membiarkan Zainab menyusul beliau ke Madinah, dan Abu Al-Ash menyanggupinya.
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Berlanjut ke Zainab, Mengutamakan Ketaatan Kepada Allah Ketimbang Kepada Suami (Bagian 3)