Kini kita membicarakan seorang sahabat Nabi yang menjaga hadits dengan pena dan hafalannya. Abdullah bin Amr bin Ash, namanya. Sosok pemberani di medan perang dan sosok penuh inspirasi di medan ilmu. Ia juga teladan dalam ibadah bagi generasi Islam berikutnya.
Abdullah lahir di tengah kaum Quraisy dari Bani Sahmi. Ayahnya, Amr bin al-Ash, merupakan diplomat Quraisy yang terkenal, sedangkan ibunya adalah Raithah binti Munabbih bin al-Hajjaj as-Sahmi. Awalnya, ia bernama Al-Ash. Lalu setelah masuk Islam, Rasulullah memberinya nama Abdullah.
Abdullah memiliki keistimewaan yang tidak kebanyakan orang memilikinya: kecerdasan, kekuatan hafalan, dan komitmen yang teguh terhadap ajaran Islam.
Daftar Isi
Unggul di Bidang Hadits karena Menulis
Abdullah bin Amr bin Ash lebih dahulu memeluk Islam daripada ayahnya. Dengan kecerdasannya, ia dapat menghafal banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Abu Hurairah mengakui keunggulan Abdullah bin Amr hadits. Sebabnya, karena Abdullah tak hanya menghafal tetapi juga menulis.
“Tak seorang pun yang melebihi aku dalam hafalan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain Abdullah bin Amr bin al-Ash. Ia selalu menulis (hadits), sedangkan aku tidak,” kata Abu Hurairah menuturkan keunggulan Abdullah.
Sifat teliti Abdullah tampak dari kebiasaannya untuk mencatat setiap ucapan Rasulullah. Ia pernah berkata, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seribu hadits.”
Ketika dia meminta izin kepada Nabi untuk menuliskan setiap sabdanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya.
“Wahai Rasulullah, bolehkah aku menuliskan apa yang aku dengar darimu, baik dalam keadaan rida maupun marah?” Rasulullah menjawab, “Ya, aku tidak akan mengatakan kecuali kebenaran.”
Memang Rasulullah pernah melarang menulis hadits agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an. Namun kemudian, beliau mengizinkannya. Dan salah seorang yang beliau izinkan menulis hadits adalah Abdullah bin Amr bin Ash.
Baca juga: Abdullah bin Amr bin Haram
Ahli Ibadah dan Tilawah
Selain pandai menghafal hadits, Abdullah bin Amr sangat cinta pada Al-Qur’an. Dia tidak hanya membacanya, tetapi berusaha untuk memahami dan mengamalkan setiap ayatnya.
Ibnu Ishaq menuturkan sebuah riwayat dari Abu Burdah dari Abdullah bin Amr bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, berapa lama (sebaiknya) aku membaca Al-Qur’an?”
Rasulullah menjawab, “Khatamkan dalam waktu satu bulan.”
“Aku mampu lebih dari itu.”
“Khatamkan dalam waktu 20 hari.”
“Aku mampu lebih baik dari itu.”
“Khatamkan dalam waktu 15 hari.”
“Aku mampu lebih baik dari itu.”
“Khatamkan dalam waktu 10 hari.”
“Aku mampu lebih baik dari itu.”
“Khatamkan dalam waktu lima hari.”
“Sebenarnya aku mampu lebih baik dari itu, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberi keringanan lagi kepadaku.”
Anjuran Rasulullah ini menggambarkan bagaimana sebaiknya umat Islam mempertahankan keseimbangan antara ibadah dan kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, Abdullah tetap dikenal dengan ketekunannya yang luar biasa, baik dalam ibadah malam maupun siang. Ia sering kali menghabiskan malam untuk shalat dan berdzikir serta menjalani siang dengan puasa.
Abdullah memiliki rasa takut yang sangat tinggi kepada Rabb-nya. Juga menasihati sahabat dan tabiin agar memperbanyak ibadah serta menguatkan taqwa.
“Seandainya kalian mengetahui dengan sebenarnya, niscaya kalian akan banyak bersujud hingga punggung remuk. Kalian akan berteriak hingga suara kalian habis. Maka dari itu, perbanyaklah menangis. Jika tidak bisa menangis, berusahalah agar bisa menangis,” kata Abdullah bin Amr bin Ash.
“Setetes air mata yang mengalir di pipiku karena takut kepada Allah lebih kusukai daripada bersedekah 1.000 dinar.”
Baca juga: Abdullah bin Abu Bakar
Taat kepada Rasulullah, Berbakti kepada Ayah
Dalam kesehariannya, Abdullah sangat mencintai ibadah hingga kadang mengabaikan keluarganya. Ia bahkan pernah menjauhkan diri dari keluarganya, memfokuskan seluruh waktunya pada ibadah.
Melihat kondisi ini, ayahnya, Amr bin al-Ash, mengadu kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah memegang tangan Abdullah dan menyerahkannya kepada ayahnya, seraya bersabda, “Kerjakanlah apa yang kuperintahkan kepadamu dan taatilah ayahmu!”
Ketika pecah Perang Shiffin antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, sang ayah berada di barisan Muawiyah dan mengajaknya bergabung dengan mengingatkan perintah Rasulullah, “Taatilah ayahmu!”
Meskipun berat, Abdullah tetap mematuhi perintah ayahnya. Namun, ia mengambil sikap netral dan tidak terlibat dalam pertempuran. Ketika Husain bin Ali mempertanyakan keikutsertaannya di kubu Muawiyah, ia menjawab: “Demi Allah, aku tidak menghunus pedang, tidak melemparkan tombak, dan tidak melepaskan panah.”
Perang Shiffin kemudian menjadi lembaran penyesalan baginya. Meskipun ia tidak membunuh siapa pun dalam perang itu. Ikut semata-mata karena ketaatannya kepada Rasulullah untuk mematuhi ayahnya. Penyesalannya tergambar dari kata-katanya:
“Mengapa aku ikut Perang Shiffin, mengapa aku memerangi kaum muslimin? Sungguh aku sangat mengharapkan seandainya Allah mematikanku 10 tahun sebelum peristiwa itu.”
Baca juga: Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul
Wafatnya Abdullah bin Amr bin Ash
Abdullah bin Amr bin al-Ash menjadi salah satu perawi hadits yang terpercaya dan telah meriwayatkan sekitar 700 hadits dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemampuan hafalannya yang luar biasa dan ketelitiannya dalam mencatat hadits menjadi warisan yang sangat berharga bagi umat Islam.
Menjelang usia senjanya, Abdullah mengalami kebutaan. Ia menghadap Allah dalam keadaan yang penuh kesabaran, ketakwaan, dan kecintaan terhadap ilmu dan ibadah.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Abdullah wafat pada usia lebih dari 70 tahun, sementara riwayat lain menyebutkan lebih dari 90 tahun. Sedangkan Syekh Mahmud Al-Mishri menegaskan bahwa sahabat Nabi penulis hadits ini wafat di Mesir pada tahun 65 hijriyah.
Terlepas dari perbedaan ini, Abdullah bin Amr bin Al-Ash berusia panjang dan hidupnya berkah. Tak hanya mendapatkan keteladanan dari kisah hidupnya, kita juga bisa mengetahui banyak hadits Nabi berkat hafalannya. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]
Referensi:
- Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
- Ashabu ar-Rasul karya Syekh Mahmud Al-Mishri
- Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya