Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abdullah bin Jubair, Komandan Pemanah yang Selalu Amanah

Abdullah bin Jubair, Komandan Pemanah yang Selalu Amanah

0
abdullah bin jubair
ilustrasi komandan pemanah (adobe fiferly)

Kini kita akan menyusuri sirah sahabat yang selalu menjaga amanah Rasulullah sebagai komandan pemanah. Abdullah bin Jubair bin an-Nu’man al-Anshari al-Ausi, namanya. Sosok sahabat Nabi dari kalangan Anshar, keturunan suku Aus.

Apapun yang terjadi, semanis apa pun godaan yang menghampiri, Abdullah bin Jubair adalah teladan dalam komitmen menjalankan tugas dan amanah. Di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berikrar untuk selalu mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak sedikit pun terbersit keraguan dalam hatinya, apalagi niat untuk menggantikan cintanya kepada Nabi dengan kepentingan pribadinya. Dalam setiap kesempatan, Abdullah selalu mendahulukan perintah Rasul di atas segalanya.

Komandan Pemanah

Ketika Perang Uhud akan berlangsung, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Abdullah bin Jubair untuk memimpin 50 pasukan pemanah. Rasulullah menempatkan mereka di atas bukit, sebagai strategi perlindungan.

Dengan tegas, Rasulullah berpesan agar mereka tetap bertahan di posisi, apapun yang terjadi di medan perang. Pesan itu beliau sampaikan dengan sangat jelas, “Jangan pernah tinggalkan posisi kalian meskipun melihat kami menang, dan jangan pula tinggalkan posisi kalian saat kalian melihat kami terdesak.”

Pesan tersebut tidak hanya sekadar perintah, tetapi juga sebuah wasiat berdasarkan wahyu. Dan perintah itu sebenarnya adalah strategi yang jitu. Abdullah bin Jubair memahami amanat ini dengan baik dan bertekad untuk menaatinya sepenuh hati.

Ketika peperangan meletus, pasukan muslim tampak mendominasi, berhasil mendesak barisan musuh hingga mundur. Pasukan pemanah yang berada di atas bukit benar-benar berperan strategis. Ketika ada serangan lawan dari arah punggung pasukan, pemanah sigap melepas panah membuat gerak lawan tertahan. Demikian pula jika pasukan kavaleri musuh mau menyintas, panah-panah Abdullah bin Jubair dan timnya membuat mereka terhenti seketika.

Kemenangan tampaknya sudah di depan mata. Pasukan Quraisy tampak kocar-kacir, meninggalkan medan perang dan segala perlengkapan mereka. Melihat situasi ini, sebagian besar pasukan muslim bergegas mengumpulkan pampasan perang dengan penuh kegembiraan. Mereka yakin bahwa kemenangan sudah dalam genggaman dan perang telah usai.

Baca juga: Abdullah bin Jahsy

Godaan Ghanimah

Di atas bukit, para pemanah di bawah kepemimpinan Abdullah bin Jubair memantau dari kejauhan. Mereka melihat kawan-kawan mereka turun ke medan perang, meraih harta pampasan yang pasukan Quraisy tinggalkan.

Melihat situasi tersebut, sebagian dari mereka mulai merasa gelisah. Ketika godaan harta menggerogoti, sebagian besar dari mereka pun berinisiatif meninggalkan pos, meskipun Abdullah bin Jubair telah memperingatkan mereka untuk bertahan. Abdullah dengan lantang mengingatkan akan perintah Rasulullah yang telah jelas: untuk tidak meninggalkan posisi mereka, apapun yang terjadi.

Namun, nafsu dan keinginan untuk meraih rampasan perang lebih menggoda mereka daripada suara Abdullah. Mereka lupa bahwa kepatuhan kepada perintah Nabi adalah bentuk ketaatan tertinggi, dan godaan dunia hanyalah ilusi yang tak abadi.

Empat puluh orang sudah yang meninggalkan bukit. Turun untuk bergabung dengan pasukan lain mengumpulkan ghanimah. Tinggal 10 orang yang tetap berada di posisi mereka di atas bukit, termasuk Abdullah bin Jubair. Mereka tidak tergoda oleh kesenangan duniawi. Mereka berdiri kokoh, menjalankan perintah Nabi, memegang teguh janji.

Baca juga: Abdullah bin Amr bin Ash

Syahidnya Abdullah bin Jubair

Namun, pelanggaran terhadap perintah itu akhirnya harus dibayar dengan harga yang mahal. Tersembunyi di balik bukit, pasukan kavaleri Quraisy pimpinan Khalid bin Walid tengah menunggu kelengahan pasukan muslim. Khalid, seorang ahli strategi yang cerdik, segera mengambil kesempatan ini.

Dengan cepat, Khalid memimpin pasukannya mengambil jalan memutar. Lalu melancarkan serangan dari balik bukit, menerjang para pemanah yang tersisa di puncak, termasuk Abdullah bin Jubair. Abdullah dan rekan-rekannya bertahan, namun mereka akhirnya gugur sebagai syuhada. Kegigihan mereka mempertahankan posisi tidak cukup untuk menahan serangan yang tak terduga itu.

Pasukan kavaleri Quraisy berhasil menguasai bukit, dan serangan mereka terus menyebar ke arah pasukan muslim yang saat itu tengah lengah. Kondisi yang awalnya unggul berubah drastis. Pasukan muslim yang semula merasa yakin akan kemenangan tiba-tiba harus menghadapi serangan mendadak, membuat mereka panik dan berlari serabutan.

Dalam situasi kacau ini, mereka kesulitan mengatur barisan, sehingga banyak dari mereka yang tumbang. Abdullah bin Jubair yang tetap setia pada perintah Rasulullah pun gugur dengan penuh kehormatan. Ia mengorbankan nyawanya demi menjaga amanat yang ia pegang sejak awal.

Baca juga: Abdullah bin Amr bin Haram

Hikmah dan Keteladanan

Kisah Abdullah bin Jubair ini adalah pengingat akan pentingnya menjaga ketaatan dalam segala kondisi, terutama pada saat godaan duniawi mencoba menggoyahkan iman. Apalagi ketika berada di posisi strategis yang mempertaruhkan kemenangan dan keselamatan.

Abdullah mencontohkan bagaimana janji kepada Allah dan Rasulullah lebih berharga daripada harta benda. Ia mengajarkan kepada umat bahwa keteguhan dalam mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya adalah bukti cinta dan ketakwaan yang sejati, serta bahwa kebahagiaan dunia tak sebanding dengan kehormatan dan ganjaran yang abadi di akhirat.

Abdullah bin Jubair telah menjadi simbol ketaatan yang menginspirasi banyak generasi. Dengan jiwa yang teguh dan pengorbanan yang tulus, sahabat Nabi ini tetap bertahan hingga akhir, menjalankan perintah Rasulullah sebagai bentuk penghambaannya kepada Allah. Semoga Allah merahmati Abdullah bin Jubair dan memasukkannya ke surga bersama para Nabi dan syuhada. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi  Sirah Shahabat karya Syeh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syekh Mahmud Al-Mishri
  • Sirah Nabawiyah karya Syekh Muhammad Ali Ash-Shalabi