Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abdullah bin Zubair: Hidup Mulia atau Mati Syahid

Abdullah bin Zubair: Hidup Mulia atau Mati Syahid

0
abdullah bin zubair
ilustrasi (adobe fiferly)

Sejak kecil, Abdullah bin Zubair telah membetot perhatian. Sebab kelahirannya telah mematahkan ancaman orang-orang Yahudi. Ia menjadi bayi pertama muhajirin yang lahir di Madinah. Tumbuh menjadi sahabat Nabi yang gagah, lantas menjadi pemimpin Makkah dan Madinah. Bahkan hampir saja menjadi khalifah.

Abdullah bin Zubair berasal dari keturunan yang mulia. Ayahnya, Zubair bin al-Awwam, adalah seorang sahabat yang gagah berani dan merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga. Sedangkan ibunya, Asma binti Abu Bakar, adalah seorang wanita tangguh yang memiliki julukan dzátunnithaqain (perempuan dengan dua ikat pinggang) karena keberaniannya dalam mendukung hijrah Nabi.

Bibinya adalah Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah. Bahkan, namanya menjadi nama kunyah Ummul Mukminin ini. Kita bisa membacanya dalam hadits Arbain ke-5, nama kunyah Bunda Aisyah adalah Ummu Abdillah.

Sedangkan kakeknya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat utama yang kelak menjadi khalifah Rasulullah. Dari pihak ayah, Abdullah juga memiliki garis keturunan yang dekat dengan Rasulullah, karena neneknya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi.

Umat Islam Bahagia Menyambut Kelahirannya

Kisah kelahiran Abdullah bin Zubair berawal ketika ibunya, Asma, berhijrah ke Madinah dalam keadaan hamil. Beberapa waktu setelah tiba di Madinah, Asma melahirkan seorang putra. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya nama Abdullah.

Rasulullah menyambut kelahiran Abdullah dengan penuh kegembiraan. Beliau mengunyah sebutir kurma dan menempelkannya ke mulut Abdullah yang baru lahir sebagai bagian dari tahnik—salah satu sunnah menyambut bayi yang baru lahir. Dengan demikian, air liur Rasulullah adalah minuman pertama yang masuk ke tubuh Abdullah, sebuah keberkahan dan simbol ikatan cinta antara Rasul dan umatnya.

Kelahiran Abdullah menghapus kerisauan kaum Muslimin yang sebelumnya mendapat ancaman kaum Yahudi di Madinah. Kaum Yahudi mengatakan bahwa mereka telah menyihir kaum Muslimin agar tidak ada anak yang lahir dari mereka.

Namun, Allah mematahkan sihir dan ancaman tersebut. Kaum Muslimin pun menyambut kelahiran Abdullan bin Zubair dengan gembira. Mereka bahagia, ancaman Yahudi tak lebih dari bualan semata. Kalaupun Yahudi menyihir, sungguh sihir mereka tidak ada gunanya di hadapan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca juga: Abdullah bin Zaid bin Ashim

Parenting Islami, Nuansa Nabawi

Dalam masa pertumbuhannya, Abdullah mendapatkan didikan keras namun penuh kasih dari ayahnya, Zubair bin Awwam. Zubair ingin anaknya menjadi seorang pejuang yang gagah berani. Ia sering mengajak Abdullah dalam berbagai pertempuran. Sejarah mencatat, Abdullah ikut Perang Yarmuk padahal saat itu ia masih anak-anak.

Setelah bercerai dengan Zubair, Asma mendidik Abdullah dengan penuh nilai-nilai kehormatan, ketangguhan, dan keimanan. Asma sangat menekankan agar Abdullah tidak tumbuh menjadi orang yang mudah menyerah. Bagi Asma, Abdullah harus menjadi seorang lelaki yang kuat dalam keyakinan dan teguh pendirian.

Abdullah juga mendapatkan pendidikan dari keluarga Nabi. Ia sangat dekat dengan bibinya Aisyah dan karenanya mendapatkan banyak ilmu darinya. Bahkan, Rasulullah memberikan nama kunyah Ummu Abdillah untuk Aisyah.

Abdullah tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, tajam analisisnya, sekaligus pemberani di medan perang. Ia juga percaya diri dan memiliki keinginan yang sangat kuat.

Setelah mengikuti Perang Yarmuk saat usianya masih kanak-kanak, Abdullah kemudian bergabung dalam perang-perang berikutnya. Kekuatannya terlihat mencuat ketika terjadi Perang Ifriqiyyah pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dalam perang menaklukkan Tunisia itu, ia berhasil membunuh Gregoras, raja keuskupan Ifriqiyyah.

Baca juga: Abdullah bin Al Za’bari

Kesungguhan Ibadah

Abdullah bin Zubair juga tumbuh menjadi sosok yang terkenal akan ketekunan dan kekhusyukannya dalam beribadah. Ia menjalankan berbagai sunnah, baik shalat maupun puasa, dengan penuh kesungguhan yang jarang tertandingi.

Begitu khusyuknya Abdullah saat shalat, sehingga burung-burung sering kali hinggap di pundaknya, seakan bertengger di dahan pohon. Abdullah benar-benar memancarkan ketenangan batin yang dalam, dan semangatnya dalam ibadah menjadi teladan bagi banyak orang.

Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala menyebut tiga keunggulan Abdullah bin Zubair: ilmunya sangat dalam, pemberani di medan jihad, dan semangat ibadahnya sangat kuat.

Baca juga: Abdullah bin Umar

Kehidupan Perjuangan dan Kepemimpinan

Abdullah bin Zubair adalah seorang panglima perang yang pemberani. Ia berjasa besar dalam peperangan di Afrika bersama Amr bin Ash. Ketika terjadi pengepungan di kediaman Khalifah Ustman bin Affan pada 35 hijriyah, Abdullah turut membela Utsman. Lalu ia masuk dalam pasukan ayahnya saat Perang Jamal, bergabung dengan pihak Bunda Aisyah.

Ketika Muawiyah menjadi khalifah, Abdullah mendapatkan perlakuan hormat sebagai sahabat. Ia juga turut serta dalam berbagai jihad di masa Muawiyah, mulai Perang Ifriqiyyah pada 45 hijriyah hingga penyerbuan Konstantinopel di bawah komando Yazid bin Muawiyah pada 49 hijriyah.

Hubungannya dengan Muawiyah memburuk ketika Muawiyah mengangkat anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah penggantinya. Abdullah bersama Al-Husein bin Ali bin Abu Thalib tidak mau membaiat Yazid. Keduanya mendapatkan dukungan dari sebagian umat Islam.

Al-Husein yang mendapat dukungan dari Kufah lantas berangkat ke sana. Namun, di tengah perjalanan terjadi pembantaian besar hingga ia gugur syahid. Sepeninggal Al-Husein, Abdullah bin Zubair mendapatkan baiat dari penduduk Makkah dan Madinah. Abdullah menjadi pemimpin Hijaz dengan Makkah sebagai pusatnya.

Pada akhir tahun 63 hijriyah, Yazid mengirim pasukan untuk mengepung Abdullah di Makkah. Selama 64 hari pertempuran, Abdullah unggul. Pada 64 hijriyah, Yazid meninggal. Dukungan untuk Abdullah semakin luas dan sejak saat itu ia dipanggil sebagai khalifah.

Sayangnya, Abdullah tidak mau ketika jenderal Syam Al-Hushain bin Numair menawarinya untuk ke Damaskus mengambil alih kekhalifahan. Abdullah justru mau melanjutkan peperangan melawan Al-Hushain serta mengusir Marwan bin Hakam dan keluarganya dari Madinah.

Bani Umayyah berhasil melakukan konsolidasi kekuatan dengan kembalinya Marwan bin Hakam. Melalui konferensi Al-Jabiyah, mereka membaiat Marwan bin Hakam menjadi khalifah. Dua khalifah ini kemudian terlibat peperangan untuk membuktikan siapa yang pantas berkuasa. Ketika Marwan meninggal, Abdul Malik bin Marwan menggantikannya.

Singkat cerita, Abdul Malik bin Marwan menunjuk al-Hajjaj bin Yusuf sebagai panglima untuk menyerang Makkah. Al-Hajjaj menggempur Mekkah habis-habisan hingga ka’bah pun rusak oleh serangan manjaniq.

Baca juga: Abdullah bin Salam

Hikmah Kisah Abdullah bin Zubair

Meskipun berada di posisi sulit dan kehilangan banyak pengikut serta keluarganya, Abdullah tetap teguh. Saat-saat terakhir melawan Al-Hajjaj, ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, datang memberikan dukungan. Asma menegaskan bahwa jika Abdullah yakin berada di jalan yang benar, ia harus tetap tabah dan tidak menyerah kepada musuh.

“Isy kariman au mut syahidan,” demikian kata Asma. Dengan motivasi ini, Abdullah kembali bertempur dengan gagah. Hingga akhirnya, sahabat Nabi ini gugur syahid di medan perang setelah terkena lontaran batu dari arah Bukit Shafa.

Ketika al-Hajjaj datang menemui Asma setelah kematian Abdullah dan menyatakan kebanggaannya atas pembunuhan Abdullah, Asma menjawab dengan penuh keyakinan, “Engkau hanya merusak dunianya, dan ia telah merusak akhiratmu.”

Kalimat ini menggambarkan betapa dalam keyakinan dan keberanian keluarga ini dalam menghadapi ujian hidup. Asma percaya bahwa dunia hanyalah tempat sementara, sedangkan kebahagiaan sejati berada di akhirat.

Abdullah bin al-Zubair adalah teladan bagi setiap Muslim yang berjuang dengan teguh mempertahankan keyakinannya. Kelahiran dan kematian serta seluruh perjalanan hidupnya menjadi pelajaran tentang keberanian, kehormatan, dan iman yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Al-‘Alam al-Islami fi al-‘Ashri al-Umawi karya Syekh Abdusyafi Muhammad Abdul Lathif