Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq: Sahabat Paling Utama

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Sahabat Paling Utama

0
abu bakar ash shiddiq
ilustrasi (film ar-risalah)

Suatu ketika, Amr bin Ash bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Amr bin Ash bertanya lagi, “Kalau dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya.” Ayah Ummul Mukimin Aisyah tidak lain adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Inilah laki-laki yang paling Nabi cintai. Sekaligus sahabat yang paling utama. Sebab, Abu Bakar langsung menerima dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan selalu membenarkan beliau. Abu Bakar juga sahabat paling dekat sehingga Rasulullah memilihnya menemani hijrah ke Madinah.

Abu Bakar menjadi sahabat paling utama juga terbukti dengan Rasulullah menunjuknya sebagai imam ketika beliau sakit. Dari sinilah para sahabat seperti Umar memahami bahwa Abu Bakar-lah yang layak menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi. Maka, seluruh sahabat sepakat membaiatnya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Nama Asli Abu Bakar dan Masa Kecilnya

Ia berasal dari suku Quraisy, keturunan Bani Tamim. Menurut Syekh Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas, nama asli Abu Bakar adalah Abdul Ka’bah. Namun, setelah masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggantinya menjadi Abdullah.

Sedangkan menurut Syekh Ali Muhammad As-Shalabi, nama aslinya adalah Abdullah. Abu Bakar adalah nama kuniyahnya. Bakar berasal dari kata al-bikr yang artinya unta muda. Bentuk jamaknya adalah bakaarah dan abkur. Orang Arab menamai Bakar bila seseorang itu merupakan ayah dari sebuah kabilah yang besar.

Gelar lain Abu Bakar adalah Al-Atiq. Gelar tersebut karena Rasulullah mensabdakan bahwa ia terbebas (atiq) dari api neraka. Yang paling terkenal dari gelarnya adalah Ash-Shiddiq karena ia selalu membenarkan Rasulullah terutama soal isra’ mi’raj. Ia juga memiliki gelar Ash-Shahib karena Al-Qur’an menjulukinya demikian, sebagai teman dekat Rasulullah.

Ayahnya adalah Abu Quhafah yang nama aslinya adalah Utsman bin Amr. Ibunya adalah Ummu al-Khair Salma binti Sakhr. Keduanya mendidik Abu Bakar menjadi pribadi yang jujur, lembut, dan dermawan.

Hubungan Abu Bakar dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah terjalin sejak masa kanak-kanak. Sebagai teman bermain, Abu Bakar berbagi banyak pengalaman dan perasaan dengan Rasulullah.

Sejak kecil, Abu Bakar sudah menunjukkan sifat istimewa: ia tidak pernah menyembah berhala, tidak suka perselisihan, dan menjauhi kemungkaran. Karakter-karakter mulia yang langka di tengah masyarakat Jahiliah terhimpun padanya. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama, Abu Bakar adalah laki-laki dewasa pertama yang menyatakan keimanannya tanpa keraguan sedikit pun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap orang yang aku seru kepada Islam akan berpikir-pikir, kecuali Abu Bakar. Ia tidak menunggu lama dan tidak pernah ragu.”

Keimanan yang kokoh ini menjadi dasar mengapa ia mendapat gelar “Ash-Shiddiq” yakni orang yang selalu membenarkan Rasulullah. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj menjadi salah satu bukti keimanannya. Saat masyarakat Quraisy mencemooh Rasulullah, Abu Bakar dengan tegas menyatakan, “Jika Muhammad berkata demikian, maka itu benar. Aku membenarkan apa pun yang beliau sampaikan, bahkan jika lebih ajaib daripada ini.”

Baca juga: Abu Ayyub Al Anshari

Pendamping Setia dalam Perjalanan Hijrah

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima perintah untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah), Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi satu-satunya sahabat yang menemani beliau. Perjalanan ini bukan hanya momen bersejarah, tetapi juga membuktikan kedekatan dan kepercayaan antara Rasulullah dan Abu Bakar.

Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini. Ketika Abu Bakar merasa khawatir terhadap keselamatan Rasulullah di Gua Tsur, Rasulullah menenangkannya dengan bersabda, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita.”

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah: 40)

Di dalam gua, Abu Bakar menunjukkan kasih sayangnya kepada Rasulullah. Ia membersihkan tempat istirahat Rasulullah dan melindungi beliau dari bahaya. Ketika seekor ular menyengat kakinya, ia menahan rasa sakit agar tidak membangunkan Rasulullah yang sedang beristirahat. Keberanian dan pengorbanannya ini mencerminkan kesetiaannya yang tiada banding.

Demikian pula sewaktu dalam perjalanan hijrah. Jika Abu Bakar merasa ada ancaman dari depan, ia akan berjalan di depan Rasulullah. Jika merasa ada ancaman dari belakang, ia berjalan di belakang Rasulullah.

Baca juga: Abu al Ash bin Rabi’

Dermawan dan Pembela Islam

Abu Bakar adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ia memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dengan mengajak banyak tokoh Quraisy untuk memeluk agama Allah. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Abu Bakar juga dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan. Pada masa awal periode Makkiyah, ia memerdekakan sejumlah budak. Yang paling terkenal adalah Bilal bin Rabah. Bahkan sebagian budak yang ia merdekakan menjadi assabiqunal awwalun.

Sebagai saudagar kaya, ia memiliki banyak harta. Harta yang banyak itu lantas ia gunakan untuk menolong sahabat yang lemah, menolong fakir miskin, dan terutama memerdekakan budak yang menghadapi siksaan majikan. Ketika ia berangkat hijrah, Abu Quhafah khawatir harta Abu Bakar sudah habis untuk dakwah dan membela Islam. Lalu cucunya memasukkan kerikil ke dalam kantong dan mengguncang-guncangkannya agar kakeknya yang sudah tak bisa melihat percaya bahwa harta Abu Bakar masih banyak.

Di Madinah, kedermawanan Abu Bakar semakin menguat. Ia tak pernah ketinggalan mendukung jihad. Ketika Rasulullah meminta para sahabat untuk berinfak membiayai Perang Tabuk, Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya. Ketika Rasulullah bertanya apa yang ia sisakan untuk keluarganya, ia menjawab, “Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.”

Baca juga: Abdurrahan bin Auf

Selalu Mendampingi Rasulullah

Tak hanya saat hijrah, Abu Bakar Ash-Shiddiq juga selalu mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbagai jihad fi sabilillah. Malam menjelang Perang Badar, ia menemani Rasulullah berdoa ketika semua sahabat tertidur di tengah sejuknya suasana hujan.

“Cukup ya Rasulullah, Allah pasti mengabulkan doamu,” ucapnya sambil menangis melihat Rasulullah berdoa sepanjang malam hingga surbannya terjatuh.

Pada Perang Uhud, Abu Bakar juga setia mendampingi Rasulullah. Termasuk pada detik-detik kritis ketika musuh berhamburan menyerbu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia melindungi Rasulullah sekuat tenaga, agar kekasihnya itu tak terluka.

Sejak di Makkah, kecintaannya kepada Rasulullah memang melebihi kecintaannya kepada diri sendiri. Ia pernah dipukuli orang-orang Quraiys hingga pingsan karena dakwah terang-terangan di dekat Ka’bah. Saat siuman, ia langsung bertanya, “Bagaimana kondisi Rasulullah.”

“Engkau baru siuman langsung tanya Rasulullah. Yang penting engkau sehat dulu,” jawab Ummu Khair.

Abu Bakar terus bertanya tentang Rasulullah hingga Ummu Khair mengutus orang memastikan kabar. Ketika mendapatkan kepastian bahwa Rasulullah selamat, barulah Abu Bakar mau makan.

Demikian pula pada perang-perang berikutnya. Abu Bakar senantiasa mendampingi Rasulullah. Hingga ketika Rasulullah sakit dan tidak bisa memimpin shalat, beliau menunjuk Abu Bakar sebagai imam.

Baca juga: Abdurrahman bin Abu Bakar

Kepemimpinan Setelah Rasulullah Wafat

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Masa kepemimpinannya penuh tantangan, termasuk menghadapi gerakan murtad dan nabi-nabi palsu. Namun, dengan kebijaksanaan dan ketegasannya, Abu Bakar berhasil menjaga kesatuan umat Islam.

Para sahabat sempat tidak sependapat ketika Abu Bakar memberangkatkan kembali pasukan Usamah bin Zaid. Mereka khawatir ada serangan dan Madinah tidak mampu bertahan karena sebagian pasukan sedang di luar. Namun, ketegasan Abu Bakar terbukti benar. Pihak musuh melihat Madinah tetap kuat meskipun Rasulullah wafat. Pergerakan pasukan secara ekspansif membuat mereka berkesimpulan bahwa pertahanan Madinah dalam kondisi prima.

Abu Bakar juga tegas memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Melihat ketegasan Abu Bakar, orang-orang Arab terutama Badui kembali taat. Abu Bakar berhasil mengembalikan stabilitas keamanan dan soliditas umat.

Abu Bakar juga memulai pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, sebuah langkah yang menjadi dasar penting bagi umat Islam hingga hari ini.

Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar menguatkan administrasi pemerintahan dengan membentuk perwakilan pemerintah di beberapa wilayah dengan pemimpin atau gubernur sebagai berikut:

  • Mekkah: Attab bin Usaid
  • Thaif: Utsman bin Abu Ash
  • Shan’a: Al-Muhajir bin Abu Umair
  • Hadhramaut: Ziyad bin Labid
  • Khaulan: Ya’la bin Umayyah
  • Zubaid dan Ruqa’: Abu Musa Al-Asy’ari
  • Janad Al-Yaman: Muadz bin Jabal
  • Najran: Jarir bin Abdullah
  • Jurasy: Abdullah bin Tsur
  • Bahrain: Al-Ala’ bin Al-Hadrhami
  • Oman: Huzaifah Al-Ghalfani
  • Yamamah: Salith bin Qais

Abu Bakar juga melebarkan dakwah Islam ke Irak dan Syam. Pada akhir pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Irak dan Syam.

Baca juga: Abdullah Dzul Bijadain

Teladan dalam Kesederhanaan dan Ketawadhuan

Meskipun memegang posisi tertinggi sebagai khalifah, Abu Bakar tetap rendah hati. Ia tidak segan melakukan pekerjaan sederhana seperti menggembalakan kambing untuk tetangganya, bahkan setelah menjadi pemimpin umat. Suatu ketika, seorang budak berkata, “Abu Bakar tidak akan lagi memerah susu untuk kami.”

Mendengar ucapan itu, Abu Bakar menjawab, “Tidak, aku akan tetap memerah susu untuk kalian. Aku tidak ingin jabatan ini mengubah kebiasaanku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Seandainya aku harus memilih seseorang sebagai sahabat karib, aku akan memilih Abu Bakar. Tetapi, ia adalah saudara dan sahabatku.” Pernyataan ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan Abu Bakar di sisi Rasulullah.

Selama masa pemerintahannya, Abu Bakar tetap hidup sederhana. Ia tidak pernah memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi. Bahkan, ketika wafat, ia hanya meninggalkan sedikit harta yang ia wariskan kepada keluarganya. Ia juga meminta Aisyah menghitung hartanya. Selisih antara harta sebelum menjabat dan sesudah menjabat, ia meminta putrinya mengembalikan harta itu ke Baitul Mal.

Baca juga: Abdullah bin Zubair

Wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar wafat pada tahun 13 Hijriah dalam usia 63 tahun, sama seperti usia Rasulullah saat wafat. Sebelum wafat, ia menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Umar bin Khattab, seorang sahabat yang dikenal dengan ketegasannya. Keputusan ini ia ambil setelah musyawarah yang matang dengan banyak sahabat, menunjukkan kecintaannya terhadap umat dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Warisan terbesar Abu Bakar bukanlah harta, melainkan keteladanan dalam iman, kejujuran, dan pengorbanan. Ia adalah simbol kesetiaan, keberanian, dan kepemimpinan yang penuh kasih sayang. Dalam setiap aspek kehidupannya, Abu Bakar mengajarkan kepada umat Islam bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah segalanya.

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah teladan yang abadi bagi umat Islam. Dari masa kanak-kanak hingga akhir hayatnya, Sahabat Nabi ini selalu berada di sisi Rasulullah, mendukung dakwahnya dengan jiwa dan harta. Kesetiaan, keberanian, dan kerendahannya menjadikannya salah satu manusia terbaik sepanjang sejarah. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya di surga tertinggi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aamiin. [Yahya Haniya/BersamaDakwah]

Referensi:

  • Nafahat ‘Athrifah fi   Sirah Shahabat karya Syekh Muhammad Raji Hasan Kinas
  • Sirah Nabawiyah Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy
  • Shuwar min Hayat ash-Shahabat karya Syekh Abdurrahman Raf’at Al Basya
  • Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq karya Syekh Ali Muhammad Ash-Shalabi