Beranda Keluarga Akhirnya, Kuceraikan Akhwat KW Itu

Akhirnya, Kuceraikan Akhwat KW Itu

content.sphere.com

Idealnya keluarga seorang pegiat dakwah seperti ini adalah keluarga yang tentram, membawa ketenangan dan kebahagian serta penuh limpahan kasih sayang. Namun taraf ideal hanya bisa kunikmati di teks-teks buku tentang pernikahan dan rumah tangga yang hanya berakhir di alam imajinasi.

Setiap pulang dari kerja, aku selalu mendapati rumahku seperti rumah penghuni neraka, sama sekali tidak ada aroma surga sama sekali.

“An****” aku kaget mendengar kata buruk itu diucapkan oleh istriku kepada anakku yang masih kecil. Seperti ada yang memporak-pondakkan hatiku. Bayangkan, mengeluarkan kata-kata kotor di depan teman saja sudah perbuat buruk, apalagi di depan anak sendiri? Aku mencoba sabar untuk tak memarahi istriku, namun apa mau dikata, aku harus tetap marah karena kalimat itu sungguh tak layak ditujukan kepada kedua anakku yang masih berusia tiga tahun dan satu tahun. Berjalannya waktu, ia malah makin terbiasa dengan kalimat-kalimat yang sarat dengan nama-nama binatang di Ragunan.

Ketidaknyamananku semakin menjadi ketika ia selalu menanyaiku di mana aku berada, di mana posisiku dan bersama siapa. Memang ini sudah sering ia lakukan di awal-awal pernikahan. Kalau jarang-jarang itu masih wajar, nah jika sering menginterogasi tiap jam sedang di mana, siapa yang tidak nyaman. Seakan aku adalah suami yang ketika keluar rumah terbang bebas dengan perempuan lain. Ketika aku memberi tahu akan ada mukhoyyam, ia malah tidak mengizinkan sama sekali. Aku tidak boleh mengikuti kegiatan itu karena di matanya bersama keluarga utama dan kegiatan seperti itu di matanya tidak ada artinya.

Di manapun aku pergi, ia ingin ikut. Ini sudah keluar dari kewajaran. Seakan hidupku tak dilingkupi kejujuran. Aku tidak diberikan kepercayaan sama sekali. Ada batas-batas yang ia labrak. Suatu kali aku mendapat tugas mengisi di acara kantor, di sebuah lapangan. Ketika sedang menjadi master of ceremony di acara tersebut, istriku mendadak ke depan dan memangkukan anakku di pahaku. Aku tidak masalah bila di pangku anak, malah suka. Namun ini waktunya sangat tidak tepat sekali. Lebih lagi anakku itu habis dari buang air kecil dan belum dipakaikan celana, masih telanjang. Sementara itu ketika usai memangkukan anakku, istriku malah asyik main hape sendiri. Aku tidak tahu sedang mengetik apa di papan ponselnya, sedang komunikasi dengan siapa. Aku heran juga malu, pasalnya para hadirin juga geleng-geleng kepala melihat tingkah polah istriku yang acuh tak acuh dengan anak dan suami. Oh, Rabbi…

Idealnya seorang istri tak begadang bila memang tidak ada hal yang berguna, imbasnya subuhnya kesiangan. Aku sudah membangunkan namun ia tidur lagi tidak beranjak ke kamar mandi mengambil air wudhu.  Berlangsung begitu terus, anak tidak terurus sementara aku harus pergi ke kantor.

“Bagaimana kalau kita mencari pembantu?” tawarku ketika itu.

Ia menggelengkan kepala dan menolak tawaranku. Katanya uangnya bisa diberikan kepadanya daripada harus diberikan kepada pembantu. Entahlah, aku bingung dengan jalan pikirannya. Mau tidak mau aku harus banyak mengurus anak dan urusan rumah selain urusan kantor.

Hobinya begadang hingga malam akhirnya kupergoki. Ia asyik chatting dengan seorang laki-laki yang bukan mahram. Ia selingkuh? Sebentar, aku tidak mau menyimpulkan apalagi baru sekali lihat. Namun aku coba mencari bukti lain, dan aku pun menemukan satu kesimpulan: istriku selingkuh. Lebih lagi aku dengar beberapa orang ia sering nulis status Facebook yang sarat dengan urusan rumah tangga, juga lelaki lain. Satu tambahan lagi, ia meng-unfriend aku di FB. Aku tidak pun menanyakan kepadanya, apakah benar ia selingkuh dan mencintai laki-laki lain? Dan dugaanku benar. Ia mengaku selingkuh dan lebih mencintai lelaki itu.

Ini salahku. Aku melawan pendapat ibuku, ibuku sedari awal tidak setuju aku menikahinya. Aku juga sebenarnya disarankan murabbiku agar tidak menikahi akhwat KW itu. Namun aku tetap menikahi karena kecantikan fisiknya. Ia memang ikut halaqah, namun ternyata hanya beberapa kali dan murabbiahnya tahu istriku itu jarang hadir.

Setelah berdoa kepada Allah agar diberikan ketentuan terbaik, akhirnya aku menceraikan istriku.Ini keputusan berat, namun harus diambil. Sulit untuk mempertahankan bahtera jika di dalamnya penuh dengan panasnya api neraka. Ketika itu anakku yang pertama masih dengan usia sama, yakni tiga tahun dan anak keduaku berusia satu tahun—ia terlihat sangat kurus sekali seperti tak terurus.

“Alhamdulillah, kamu akhirnya menceraikannya. Ibu senang.” Kata ibuku sambil membenarkan kalimatnya dulu ketika melarang menikah akhwat KW itu. Aku hanya tersenyum. Memang ibu merasakan suasana yang tidak nyaman meski aku tidak pernah cerita. Ibu merasakan ketidaknyamanan karena ketika tiap kali berkunjung ke rumahku, istriku selalu pergi begitu saja tanpa alasan jelas.

Berjalannya waktu, kudengar ia sudah menikah dengan laki-laki selingkuhannya. Dan ketika ia mau menemui anakku—kebetulan hak asuh anak ada padaku, kulihat ia ada perubahan drastis. Jilbabnya mini sekali, tidak selebar dulu. Juga tidak memakai kaos kaki.

Karena kesibukan kantor, akhirnya kedua anakku diasuh oleh keluarga ibuku.  Waktu terus berjalan, dan beberapa bulan lalu akhwat KW, mantan istriku, ia menemuiku.

“Maafkan aku, Mas.” Ucapnya lirih.

Kemudian ia menjelaskan telah bercerai dengan laki-laki mantan selingkuhannya.  Tak lama terucap bahwa ia minta kembali lagi. Rujuk.

Aku hanya menghela nafas. Luka-luka hati banyak belum tersembuhkan. Harus berpikir dua kali jika ingin berumah tangga, apalagi jika harus menyalakan api neraka baru di rumah.

Ke depan jika aku memilih perempun untuk anak-anakku, aku tidak boleh mentakacuhkan faktor yang sangat penting: pemahaman agama. Jangan sampai akhwat KW lagi. Aamiin. (pm)

*Seperti diceritakan pelaku pada suatu siang di Kalibata, Jakarta Selatan.

BARU 1 KOMENTAR

Komentar ditutup.