Alat untuk mengetahui Allah Ta’ala ini ada di dalam diri setiap manusia. Jika ada orang yang tidak mengetahui-Nya, dia benar-benar telah menumpulkan alat ini. Dia sengaja tidak melakukan kerja-kerja sehingga alat ini tumpul, tanpa fungsi.
Apakah sejatinya alat yang juga membedakan manusia dengan binatang ini?
Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan sangat sempurna. Selain potensi fisik yang mengagumkan, Dia juga memberikan karunia akal dan anugerah jiwa pada seorang hamba. Tiga komponen ini, andai disinergikan dengan baik, akan mengantarkan manusia menuju derajat yang lebih tinggi daripada maqam malaikat sekalipun.
Di dalam Risalah al-Mustarsyidin, Imam al-Harits al-Muhassibi mengatakan, “Allah Ta’ala hanya dapat diketahui dengan akal, dan perintah-Nya hanya bisa ditaati dengan ilmu.”
Akal diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam diri setiap manusia, yang tujuan utamanya untuk mengetahui, lalu berilmu, kemudian melakukan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Pendapat ini, menurut Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, menunjukkan kemuliaan akal atas ilmu. Meskipun, sebagian ulama lain berpendapat bahwa ilmu jauh lebih mulia daripada akal. Dan yang terbaik, keduanya akan benar-benar berdaya gugah hanya jika disinergikan, dioptimalkan, hingga melahirkan amal shalih.
“Perumpamaan akal,” tutur Imam al-Harits al-Muhassibi dalam kitabnya ar-Ri’ayah, “bagaikan penglihatan, sementara ilmu bagaikan pelita.” Dengan demikian, lanjut guru dari Imam Junayd al-Baghdadi ini, “Siapa tak memiliki penglihatan, pelita tidak berguna baginya. Dan siapa yang memiliki penglihatan tapi tidak mempunyai pelita, dia tidak bisa melihat apa yang dia inginkan.”
Dengan mata, Anda bisa melihat adanya cahaya, seredup apa pun cahaya tersebut. Sebaliknya, seterang apa pun cahayanya, jika Anda tidak memiliki atau enggan menggunakan mata untuk melihat, niscaya Anda senantiasa berada di alam kegelapan.
Ulama kharismatik lainnya yang juga produktif menulis buku dan menjadi tabib hati, menyampaikan penjelasan serupa dengan Imam al-Harits al-Muhassibi ini. Ialah Ibnu al-Jauzi yang menulis Shaid al-Khatir dan banyak kitab monumental lainnya.
Di dalam Talbis Iblis, Imam Ibnu al-Jauzi Rahimahullah mengatakan, “Nikmat paling besar yang diberikan kepada manusia adalah akal. Karena akal merupakan alat untuk mengetahui Tuhan. Akal merupakan media yang digunakan untuk meyakini para Rasul.”
Akan tetapi, tidak semua ajaran Islam mampu dilogikakan. Karena itu, wahyu memiliki kedudukan di atas akal. Kita harus menundukkan akal di bawah kendali hati yang telah disirami dengan keyakinan penuh kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]
jadi bagaimana dengan orang yang mengatakan Allah menetap di atas arsy?
Komentar:bukan menetap, tapi bertahta diatas arsy dan maksudnya bertahta adalah bertahta atas segalanya atau dalam arti menguasai alam ini.
maaf Akhi, kalimat yg biasa mereka pakai Allah bersemayam di atas arsy, tapi bersemayamnya Allah berbeda dengan mahluknya. artinya mereka mengimani sifat2 Allah sebagaimana nash di Al Quran tanpa mentakwil atau tafwidh.
masyaallah artikel yang sangat bermanfaat sekali, terimakasih.
Komentar ditutup.