Lanjutan dari Ali dan Tugas Mulia di Malam Hijrah
Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis karena bahagia, dan Ali bin Abi Thalib tidur di tempat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Cinta macam apakah yang mereka tunjukkan ini? Itu adalah hasrat yang besar untuk membela agama.
Abu Bakar berkata,
“Aku menemanimu wahai Rasulullah, aku membantumu wahai Rasulullah?”
Dia menemani kekasihnya Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menjadi buronan orang-orang musyrikin Makkah. Sementara itu, Ali tidur di tempat tidur Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam padahal ia tahu bahwa beliau adalah target pembunuhan.
Pertolongan dan persahabatan antara Abu Bakar, Ali dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidaklah untuk orang yang memiliki harta dan uang, tidak pula untuk orang yang sedang pergi bertamasya.
Namun, itu adalah persahabatan dan pertolongan untuk orang yang sedang menjadi buronan orang-orang kafir, yang kepalanya sedang diincar oleh orang-orang musyrik.
Jadi, apa yang mendorong para shahabat rela menemani dan menolong Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam?
Sungguh itulah keimanan yang dimiliki oleh orang-orang besar. Keimanan yang menjadikan seorang manusia rela mengorbankan diri, keluarga, dan hartanya demi dakwah dan demi hijrah.
Karena itulah, dengan keyakinan yang tinggi saya berani mengatakan bahwa seandainya Ali bin Abi Thalib ditanya tentang malam terbesar di dalam hidupnya, niscaya ia akan menjawab,
“Itu adalah malam hijrah.”
Kenapa? Karena itu adalah malam pengorbanan, malam ketika kehangatan iman diuji, dan keyakinan yang tulus mendapat cobaan, itu adalah malam dimana ia menolong sang kekasih Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan cukuplah itu yang menjadikannya sebagai malam terbesar.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menemui Ali bin Abi Thalib dan memberinya dua amanat: membayarkan hutang-hutang dan mengembalikan barang-barang titipan yang ada pada beliau.
Selain itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta Ali untuk melaksanakan satu misi lain, yaitu tidur di kasur beliau.
Benar saja, sekelompok orang Quraisy telah berkumpul dan mengintai dari celah pintu dan mengawasinya, seraya terus bersekongkol, siapa di antara mereka yang akan memulainya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar rumah, lalu mengambil segenggam kerikil, dan kemudian menaburkannya di atas kepala mereka, sementara mereka tidak melihat beliau yang sedang membaca ayat,
وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ
“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin: 9).
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]
Berlanjut ke Ali dan Tugas Mulia di Malam Hijrah (Bagian 3)