Beranda Kisah-Sejarah Asal-Usul Nama Jakarta dari Surat Al-Fath

Asal-Usul Nama Jakarta dari Surat Al-Fath

Raja Sunda Pajajaran pada masa itu, Sri Baduga Maharaja, tidak resah mengetahui agama Islam merembes masuk ke wilayah kerajaannya karena tampak berlangsung secara damai tanpa kekerasan senjata. Bahkan menurut cerita, ada beberapa keluarga istana yang memeluk agama Islam seperti Kean Santan yang berguru kepada Syekh Quro di dataran Karawang sekarang.

Daerah Cirebon pun sampai dikuasai oleh kaum muslimin di bawah pimpinan Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan (Sunan) Jati. Hal yang membuat Sri Baduga miris adalah sepak terjang Kesultanan Demak yang agresif dan pada waktu itu telah menundukkan Majapahit yang dikenal cukup tangguh.

Selain itu; hubungan Demak dan Cirebon semakin kukuh berkat perkawinan putra-putri dari kedua belah pihak. Persekutuan Demak dan Cirebon ini mencemaskan Sri Baduga yang kemudian mengutus putra mahkota, Surawisesa, agar mengupayakan hubungan diplomatik dengan orang-orang Portugis di Malaka yang telah menguasai Malaka di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sebaliknya, upaya Pajajaran ini justru mencemaskan pihak Demak.

Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun dan kemudian digantikan oleh Surawisesa. Baik sumber Portugis maupun Nagara Kretabhumi, mengisahkan bahwa ia pernah diutus ayahnya untuk menghubungi Alfonso d’Albuquerque di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali, yaitu tahun 1512 dan 1521. Hasil kunjungan pertama ialah kunjungan penjajakan pihak Portugis dan hasil kunjungan kedua ialah kedatangan utusan Portugis ke Pakuan. Perutusan ini dipimpin oleh Hendrik de Leme, ipar Alfonso. Dalam kunjungan tersebut telah tercapai persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan serta keamanan.

Selain itu, dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Pajajaran. Kemudian saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos (kira-kira seberat 351 kuintal).

Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara sebelah selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam terputus (W. Fruin Mees, Geschiedenis van Java).

Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fatahillah, sasaran utamanya adalah Banten pintu masuk Selat Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, pasukan Kesultanan Demak berhasil menguasai Sunda Kalapa yang didukung oleh penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah yang setelah wafat lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati, setelah mengalahkan penguasa Kalapa, Ratu Sangiang (adik Surawisesa).

Pada 1527 datanglah pasukan Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa. Bantuan Portugis ini datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Orang Portugis tidak mengetahui jika Sunda Kalapa sudah dikuasai oleh Fatahillah. Pasukan Portugis turun dengan sekoci-sekocinya untuk merapat ke pelabuhan Sunda Kalapa dengan sekoci-sekoci.

Setelah merapat, mereka disergap oleh Fatahillah dan pasukannya. Namun, Francisco de Sa berhasil melarikan diri karena dia tidak ikut turun bersama pasukannya. Setelah dikuasai sepenuhnya oleh Fatahillah, nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta yang mengandung arti kemenangan atau kesejahteraan mutlak. Ada juga yang menulis atau menggunakan Jayakerta atau Jakerta, kemudian umum disebut Jakarta.

Mengenai penggantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta hingga kini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat. Menurut Dr. Soekanto, Fatahillah merebut Sunda Kalapa pada akhir Februari 1527. Beberapa hari kemudian datang armada Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa yang bermaksud membangun benteng di Sunda Kalapa. Armada ini digempur oleh Fatahillah kira-kira pada pertengahan Maret 1527.

Dengan tercapainya kemenangan itu, maka setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdasarkan penanggalan pranatamangsa (penanggalan yang hidup di kalangan rakyat dan berhubungan dengan pertanian), Fatahillah mungkin sekali memilih tanggal 1 pranatamangsa sebagai hari untuk mengganti nama Sunda Kalapa dengan nama Jayakarta. Tanggal 1 pranatamangsa tersebut menurut penanggalan Masehi jatuh pada 22 Juni 1527. Seperti yang sudah dikemukakan di atas, arti Jayakarta adalah kemenangan penuh Fatahillah terhadap orang-orang Portugis, musuh yang sangat dibenci oleh orang Islam pada masa itu.

Sanggahan terhadap pendapat Dr. Soekanto dikemukakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat. Menurutnya, berdasarkan sumber dari penulis sejarah bangsa Eropa, armada Fransisco de Sa berangkat dari Malaka menuju Sunda Kalapa pada 23 Oktober 1526. Pada Desember 1526 ketika perayaan Natal di Cochij (India), diperoleh kabar bahwa rombongan itu telah kembali dan pada akhir Desember 1526, Fransisco de Sa bertolak ke India.

Berdasarkan hal tersebut, Prof. Hoesein Djajadiningrat berpendapat jatuhnya Sunda Kalapa terjadi pada Desember 1526. Jika jatuhnya Sunda Kalapa ke tangan Fatahillah bertepatan dengan hari raya atau hari peringatan Islam, maka dapat diduga bahwa pada hari raya Islam yang paling dekat di akhir Desember 1526 adalah Hari Maulud 12 Rabiulawal 933 Hijriah yang jatuh pada Senin, 17 Desember 1526.

Besar kemungkinan Fatahillah merenungkan kemenangannya, ia teringat kepada kemenangan Muhammad yang terpenting yaitu merebut Kota Mekkah dan teringat pula kepada ayat pertama dari surat Al-Fath yang berbunyi “Inna fatahna laka fathan mubinan” (sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepadamu kemenangan yang tegas).

Oleh karena itu, Fatahillah lalu mendapat ilham untuk menamai dirinya Fathan (nama ini kemudian karena salah dengar dan salah tulis, dijadikan Falatehan oleh orang Portugis) sedangkan nama Sunda Kalapa lalu diganti dengan terjemahan kata fathan mubinan yaitu, Jayakarta. Demikian dua pendapat mengenai penamaan dan penanggalan digantinya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.

Cerita selanjutnya adalah jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC dan namanya kemudian diganti menjadi Batavia.

Pada masa pendudukan tentara Jepang, nama Jakarta dihidupkan kembali. Hal itu diumumkan dalam Kang Po (berita pemerintah balatentara Jepang) No. 9 thn. I bulan 12 tanggal 8 Desember 1942 untuk waktu yang tidak terbatas. [@paramuda/BersamaDakwah]

2 KOMENTAR

Komentar ditutup.