Rasulullah mensabdakan bahwa Istihdad merupakan salah satu sunnah fitrah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ ، وَالاِسْتِحْدَادُ ، وَنَتْفُ الإِبْطِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Ada lima hal yang termasuk fitrah; khitan, istihdad, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memangkas kumis” (HR. Bukhari dan Muslim)
Istihdad artinya adalah mencukur bulu kemaluan. Lima manfaat istihdad telah diketahui di zaman modern yakni kebersihan terjaga, terhindar dari bau, sehat, meningkatkan sensitifitas saat berhubungan, dan lebih higienis bagi wanita. (Baca: 5 Hikmah Istihdad)
Waktu istihdad juga telah dijelaskan, bahwa yang terbaik adalah sepekan sekali dan paling lama adalah 40 hari sekali. (Baca: Waktu terbaik istihdad)
Lalu ada pertanyaan, bolehkan istihdad dilakukan oleh suami karena alasan agak sulit menggunting bulu-bulu itu sendiri, agar lebih mesra atau alasan lainnya?
Karena saat suami membantu istrinya melakukan istihdad pasti akan melihat aurat inti istri, maka ada dua pendapat ulama.
Pertama, makruh. Ulama yang memakruhkannya berdalil dengan hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia mengatakan:
مَا نَظَرْتُ أَوْ مَا رَأَيْتُ فَرْجَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ
“Aku tidak pernah memandang kemaluan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali” (HR. Ibnu Majah)
Kedua, mubah. Dan ini pendapat jumhur ulama yang menilai hadits Aisyah tersebut dhaif sebagaimana disebutkan Al Hafizh Ibnu Rajab.
Selain itu, dalil lainnya adalah riwayat Aisyah dalam Bukhari dan Muslim bahwa ia berkata:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ ، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ دَعْ لِي ، دَعْ لِي ، قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ
“Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana antara aku dan beliau. Kemudian beliau bergegas-gegas denganku mengambil air, hingga aku mengatakan: tinggalkan air untukku, tinggalkan air untukku.” Ia berkata, “Mereka berdua saat itu dalam kondisi junub.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Fathul Bari dijelaskan, bahwa ulama seperti Ad Daudi berdalil dengan hadits ini terkait bolehnya suami memandang aurat istrinya.
Hadits lain yang menjadi pegangan bagi ulama yang membolehkan suami melihat aurat istrinya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud; hasan)
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan, hadits ini menunjukkan bolehnya seorang istri melihat aurat istrinya.
Ibnu Hazm Azh Zhahiri menegaskan, “Boleh bagi suami untuk memandang ‘milik’ istri sebagaimana istri juga boleh memandang ‘milik’ suami. Hal itu tidak dianggap makruh sama sekali.”
Wallahu a’lam bish shawab. [Ibnu K/Bersamadakwah]