Beranda Kisah-Sejarah Sirah Nabawiyah Sirah Nabawiyah, Dakwah Terang-Terangan

Sirah Nabawiyah, Dakwah Terang-Terangan

0
Dakwah terang-terangan
ilustrasi (youtube)

Sirah Nabawiyah kali ini akan membahas tentang dakwah terang-terangan. Sebelumnya, kita telah membahas Dakwah Sembunyi-Sembunyi.

Selama sekitar tiga tahun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Di antara hasilnya, Rasulullah mendapatkan 40 hingga 50 orang assabiqunal awwalun. Merekalah sahabat nabi yang paling awal masuk Islam. Mayoritasnya adalah para pemuda.

Memulai Dakwah Terang-Terangan

Allah menurunkan perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, dimulai dengan firman-Nya:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214)

Setelah menerima perintah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengundang keluarga terdekatnya, Bani Hasyim. Rasulullah menjamu mereka. Ketika Rasulullah ingin berbicara di forum yang dihadiri 45 orang laki-laki itu, tiba-tiba Abu Lahab memotongnya.

Rasulullah tak putus asa meskipun pertemuan pertama gagal. Beliau pun mengundang mereka lagi. Kali ini, beliau mendapat dukungan dari Abu Thalib, meskipun Abu Lahab masih sama menampakkan permusuhannya.

Setelah mendapat dukungan dari Abu Thalib, Rasulullah mulai memperluas seruan dakwahnya. Beliau naik ne bukit Shafa dan memanggil orang-orang Quraisy secara terbuka.

“Wahai Bani Fihr, Wahai Bani Adi!” Rasulullah menyeru suku-suku Quraisy hingga mereka berdatangan. “Bagaimana menurut pendapat kalian bila kuberitahukan bahwa di balik bukit ini ada segerombolan pasukan berkuda yang akan menyerang kalian? Apakah kalian mempercayaiku?”

“Ya, kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran,” jawab mereka.

Demikianlah kecerdasan Rasulullah. Beliau memulai dengan menguji tingkat kepercayaan mereka atas integritas beliau. Selama ini tak ada satu pun cacat yang mereka dapati. Bahkan mereka memberikan julukan al amin kepada beliau karena tak pernah berdusta, senantiasa jujur dan paling dipercaya.

Dan hendaklah ini yang perlu dijaga oleh para dai. Senantiasa jujur dan menjauhi dusta. Sebab integritas adalah modal utama. Jika integritasnya cacat, bagaimana orang-orang akan percaya kepadanya. Jika integritasnya rusak, mereka akan mudah membalik perkataan dai dan menyerangnya.

“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih,” lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mendengar seruan Rasulullah, Abu Lahab menimpali. “Celaka engkau Muhammad. Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”

Maka Allah menurunkan Surat Al Lahab yang menegaskan kecelakaan baginya.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ . مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ . سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ . وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ . فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta benda dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dari sabut. (QS. Al Lahab: 1-5)

Dakwah Menggema ke Seluruh Makkah

Seruan dakwah Rasulullah mulai menggema ke seluruh Makkah. Beliau berdakwah secara terbuka, menyeru dengan terang-terangan.

Lalu turunlah ayat yang memerintahkan Rasulullah berpaling dari orang-orang musyrik.

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (QS. Al Hijr: 94)

Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah bangkit menyerang berbagai khurafat dan kebohongan syirik. Juga menyebutkan kedudukan berhala dan hakikatnya yang sama sekali tak bernilai, tak bisa memberikan manfaat dan madharat.

Makkah pun mulai memanas. Mereka yang tadinya menganggap lalu dakwah Muhammad saat fase sembunyi-sembunyi, mulai pasang badan setelah Rasulullah mengumpulkan berbagai suku di bukit shafa, dan kini mereka mulai memusuhi dengan permusuhan yang sengit.

Orang-orang kafir Quraisy marah saat mengetahui dakwah Rasulullah adalah menafikan seluruh penyembahan kepada selain Allah. Mereka menyadari datangnya revolusi yang tak bisa dikompromikan dengan penyembahan berhala. Mereka juga khawatir kehilangan kekuasaan seiring semakin banyaknya orang yang masuk Islam.

Yang membuat mereka bingung, Rasulullah tidak ada celanya. Mereka sendiri yang memberikan gelar al amin karena beliau adalah orang terpercaya yang tidak pernah berdusta. Mereka juga tahu silsilahnya yang berasal dari keturunan mulia. Mereka tahu integritas dan keagungan akhlaknya.

Dalam kebingungan seperti itu, mereka tidak punya cara menghentikan Rasulullah saat itu kecuali dengan mendatangi Abu Thalib terlebih dahulu.

Tokoh Quraisy Mendatangi Abu Thalib

Sejumlah pemuka Quraisy mendatangi Abu Thalib. Mereka tahu tokoh berpengaruh itu memberikan perlindungan kepada keponakannya. Dan tak mungkin bagi mereka mencelakai orang yang dilindungi oleh tokoh yang mereka hormati.

“Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mencaci maki sesembahan kami. Ia mencela agama kami, membodohkan harapan-harapan kami dan menyesatkan nenek moyang kami. Cegahlah dia agar tidak mengganggu kami atau biarkan kami menanganinya sendiri,” kata mereka seraya berharap Abu Thalib mau menghentikan Rasulullah atau mencabut perlindungannya.

Namun Abu Thalib menolak mereka dengan halus. Para pemuka Quraisy itu pun pulang dengan tangan hampa. Rasulullah tetap melanjutkan dakwah.

Menghadang Dakwah Rasulullah di Musim Haji

Kegelisahan orang-orang kafir Quraisy semakin menjadi. Setelah Abu Thalib menegaskan perlindungannya kepada Rasulullah, datanglah musim haji. Orang-orang dari seluruh penjuru Arab akan datang di Makkah. Orang Quraisy takut kalau mereka menjadi pengikut Rasulullah.

Digelarlah rapat di rumah Walid bin Mughirah untuk menyatukan suara. Agar mereka seragam memberikan stigma status Rasulullah guna menghadang dakwah beliau.

Berbagai usulan dikemukakan. Ada yang mengusulkan menyebut Rasulullah sebagai dukun. Ada yang mengusulkan sebutan orang gila. Ada yang mengusulkan sebutan penyair. Ada yang mengusulkan sebutan penyihir.

Awalnya semua usulan itu ditolak oleh Walid. Namun karena tidak menemukan kata yang tepat, akhirnya ia menyetujui menyebut Rasulullah membawa sihir. Dengannya terpisah anak dan orangtua, dengannya terpisah suami dan istri.

إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ . فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ . ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ . ثُمَّ نَظَرَ . ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ . ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ . فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ . إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?, kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?, kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”.  (QS. Al Muddatsir: 18-25)

Mereka pun memperingatkan para jamaah haji dengan stigma yang sama. Mereka mengatakan, ajaran yang dibawa Muhammad adalah sihir. Banyak orang yang karena kata-kata Quraisy itu menjadi takut kepada Rasulullah. Namun ada juga orang-orang yang justru penasaran dan kemudian mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Di antaranya adalah Thufail bin Amr Ad Dausi. Dialah tokoh terkemuka Bani Daus. Sosok penyair cerdas, arif dan bijaksana. Ketika tokoh-tokoh Quraisy mendekatinya dan menakut-nakuti bahwa Rasulullah membawa sihir, ia sempat khawatir.

“Thufail, ada orang yang mengaku Nabi. Ia telah merusak dan mencerai beraikan kami. Jangan sampai bencana itu menimpa kepemimpinanmu. Kami menyarankan, jangan bicara dengannya dan jangan mendengar apa pun darinya. Kata-katanya berbisa laksana sihir yang memisahkan anak dari ayahnya dan suami dari istrinya,” kata mereka.

Thufail sempat menutup telinganya dengan kapas agar tak mendengar apa yang dikatakan Rasulullah. Namun takdir berkata lain. Di dekat Ka’bah, lama-lamat ia mendengar apa yang dikatakan Rasulullah.

“Thufail, engkau orang yang cerdas. Penyair hebat. Bagaimana mungkin engkau takut dengan kata-kata. Coba dengarkan saja. Jika kata-katanya baik, engkau bisa menerimanya. Jika kata-katanya tidak baik, engkau bisa meninggalkannya,” demikian suara hati Thufail. Ia pun membuang kapas yang menutupi telinganya.

Rupanya apa yang dikatakan Rasulullah sangat mempesona. Diksinya sangat indah, balaghah-nya sangat tinggi, maknanya sangat dalam. Hanya mengajarkan kebenaran dan kebaikan. “Ini bukanlah syair, apalagi sihir,” kata Thufail.

Thufail pun mendekati Rasulullah, menceritakan apa yang diperingatkan para tokoh Quraisy. Rasulullah mengajarkan kepadanya Surat Al Ikhlas dan Al Falaq. Lalu Thufail pun masuk Islam. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 < SebelumnyaBerikutnya >
 Dakwah Sembunyi-SembunyiQuraisy Menghadang Dakwah
Selengkapnya (urut per bab)
Sirah Nabawiyah

SILAKAN BERI TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.