Beranda Kisah-Sejarah Kisah Nyata Dikira Umur Masih 20 Tahun Lagi, Ternyata Tersisa 24 Jam Saja (Bagian...

Dikira Umur Masih 20 Tahun Lagi, Ternyata Tersisa 24 Jam Saja (Bagian 2)

0
Sunset (hdw)

Lanjutan dari Dikira Umur Masih 20 Tahun Lagi, Ternyata Tersisa 24 Jam Saja

Pada Rabu malam Kamis, tepat jam sepuluh malam, salah seorang teman memberi kabar kepadaku,

“Abu Fulan, orang yang berdebat denganku kemarin, telah meninggal pada hari ini waktu Ashar, dalam satu kecelakaan lalu lintas di satu jalan di wilayah Dammam, dan kami akan menyalatinya besok hari kamis waktu Zhuhur.”

Berita tersebut sampai ke telingaku bagaikan petir yang menyambar.

Saya sangat menyayangkan keadaannya, terasa masih hangat di dalam benakku apa yang ia bicarakan, apa yang ia perdebatkan karena kecongkakannya.

Saat itu ia hanya mengharapkan hidup dua puluh tahun lagi untuk mendirikan shalat, akan tetapi ia hanya diberi kesempatan dua puluh empat jam saja.

Sekarang apa yang akan anda katakan?

Saudaraku sekalian!

Sungguh kisah-kisah kehidupan, kejadian-kejadian nyata yang begitu dekat ini menuntut kita untuk mengintrospeksi diri dan merenungkan keadaan kita

Tahukah kita bagaimana sikap kita yang selalu berada dalam bayang-bayang kematian?

Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan, banyak sekali orang yang memasuki wilayah pemakaman namun sikap mereka sebagaimana mereka memasuki pasar.

Saya pernah melihat dua orang bercanda ria saat mereka sedang mengiringi jenazah menuju pemakaman, bahkan saya juga pernah melihat orang lain yang menyalakan rokoknya saat ia belum melangkah keluar dari kompleks pemakaman.

Sungguh keadaan ini sangat menyedihkan. Kita telah merasa aman dari ujian Allah, lalu kita melupakan kematian.

Kita membuang bayang-bayang kematian jauh-jauh, seakan-akan kita akan hidup selamanya.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata,

“Jika kita merenungkan sisi-sisi kehidupan para shahabat Rasulullah, kita akan dapati mereka sangat giat beramal dengan diiringi rasa takut kepada Allah.

Sedangkan amal ibadah kita sangat kurang, bahkan kita telah bersikap meremehkan dan merasa aman dari ujian Allah. Ya Allah, ampunilah kami.”

Jika gambaran Ibnul Qayyim tentang dirinya dan masyarakat pada zaman beliau dibandingkan dengan keadaan para shahabat seperti itu. Lalu bagaimana keberadaan kita jika dibandingkan mereka?

Saudaraku…

Kita harus menjadikan kematian sebagai pengingat yang selalu melekat dalam pikiran dan benak kita, sehingga ketika melihat jubah atau baju berwarna putih kita akan segera mengingat kain kafan, liang lahat, pertanyaan Mungkar dan Nakir dan seterusnya.

Apakah kita sudah siap menghadapinya?

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]