Dengan langkah gontai, laki-laki itu datang menghadap Rasulullah. Ia sedang didera problem finansial; tak bisa memberikan nafkah kepada keluarganya. Bahkan hari itu ia tidak memiliki uang sepeserpun.
Dengan penuh kasih, Rasulullah mendengarkan keluhan orang itu. Lantas beliau bertanya apakah ia punya sesuatu untuk dijual. “Saya punya kain untuk selimut dan cangkir untuk minum ya Rasulullah,” jawab laki-laki itu.
Rasulullah pun kemudian melelang dua barang itu. “Saya mau membelinya satu dirham ya Rasulullah,” kata salah seorang sahabat.
“Adakah yang mau membelinya dua atau tiga dirham?” Inilah lelang pertama dalam Islam. Dan lelang itu dimenangkan oleh seorang sahabat lainnya.
“Saya mau membelinya dua dirham”
Rasulullah memberikan hasil lelang itu kepada laki-laki tersebut. “Yang satu dirham engkau belikan makanan untuk keluargamu, yang satu dirham kau belikan kapak. Lalu kembalilah ke sini.”
Setelah membelikan makanan untuk keluarganya, laki-laki itu datang kembali kepada Rasulullah dengan sebilah kapak di tangannya. “Nah, sekarang carilah kayu bakar dengan kapak itu…” demikian kira-kira nasehat Rasulullah. Hingga beberapa hari kemudian, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah dan melaporkan bahwa ia telah mendapatkan 10 dirham dari usahanya. Ia tak lagi kekurangan uang untuk menafkahi keluarganya.
***
Abdurrahman bin Auf meninggalkan seluruh kekayaannya di Makkah. Di Madinah, ia mulai berdagang dari nol. Ditawari separuh harta oleh Sa’ad bin Rabi’ Al Anshari, Abdurrahman bin Auf menolak. Ia hanya minta ditunjukkan lokasi pasar Madinah.
Di pasar itulah Abdurrahman bin Auf memulai dan dari pasar itulah perdagangannya bertumbuh. Membesar dan semakin besar hingga kembali menjadi saudagar kaya.
Meskipun tadinya pengusaha kaya, Abdurrahman bin Auf mau memulai usahanya di Madinah dari nol. Ia tidak tergoda untuk berhutang meskipun menurut logika banyak orang, modal besar dari hutang akan cepat membesarkan usaha.
Apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf dan para sahabat lainnya tentu meneladani Rasulullah. Dan seperti kisah pertama dalam tulisan ini, meskipun laki-laki tersebut dalam kondisi terdesak, Rasulullah tidak menyarankannya berhutang. Rasulullah menyarankan untuk menjual aset dan sebagiannya dipakai untuk modal.
Hutang. Dulu sangat ditakuti oleh para sahabat. Sebab mereka tahu resikonya di akhirat yang sangat mengerikan, maka mereka pun menjauhinya.
Ibnu Majah dalam Sunan-nya menuliskan salah satu judul “peringatan keras tentang hutang”. Terisyaratkan dalam salah satu hadits di bab itu bahwa untuk bisa mudah masuk surga, seorang mukmin harus terbebas dari hutang. Jangan sampai memasuki kehidupan akhirat masih memiliki sangkutan hutang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal maka ia masuk surga. Tiga hal itu adalah sombong, ghulul (khianat) dan hutang” (HR. Ibnu Majah)
Orang mukmin yang ketika meninggal ia masih memiliki hutang, jiwanya akan tergantung pada hutang tersebut.
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih tergantung dengan hutangnya hingga ia melunasinya” (HR. Tirmidzi; shahih)
Hutang yang tidak bisa dilunasi di dunia tersebut akan dilunasi di akhirat nanti dengan cara membayarnya dengan kebaikan. Dengan kata lain, pahalanya akan dialihkan kepada orang yang memberinya hutang. Jika pahalanya tidak cukup, orang yang punya hutang tersebut bisa terseret ke neraka. Inilah makna jiwa tergantung dengan hutang.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah; shahih)
Namun, saat ini kondisinya berbalik. Apa yang dulu dijauhi oleh para sahabat itu, sekarang banyak dicari umat.
“Ono utang-utangan?” merupakan pertanyaan yang mudah ditemui di Jawa Timur. Menanyakan apakah ada informasi tentang hutang.
Di dunia usaha, tidak sedikit calon pengusaha yang merasa tidak bisa memulai atau membesarkan usahanya jika belum memiliki modal besar yang sumbernya dari hutang. Bahkan, hutang demikian membudaya bukan hanya hutang produktif namun juga hutang konsumtif. Yang lebih parah, jika hutangnya kepada rentenir atau riba. [Muchlisin BK/Bersamadakwah]