Meski kudeta gagal terjadi di Turki, tidak sedikit di Indonesia yang meributkan bahwa tidak ada keterkaitan Turki dengan sejarah Indonesia (terutama Jawa) sehingga tak perlu ‘membela’ pemerintah sah di sana. Benarkah demikian?
Berdasarkan dari sumber tertulis majalah National Geographic Indonesia Vol. 10 No. 08 -Agustus 2014, hlm. 40 yang diteruskan oleh Pengajar Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Susiyanto memberikan gambar tentang fakta sejarah hubungan Turki dan Jawa.
Adapun ulasannya sebagai berikut.
1. Gambar di atas adalah sketsa tentara Pangeran Diponegoro dan Pasukan Belanda. Dalam jajaran pasukan Diponegoro terdapat pasukan Bulkiya (bulkiyo). Bulkiyo adalah pelafalan lidah jawa dari kata Boluk, nama pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Komandannya disebut Bolukbashi. Pasukan ini memang meniru tata gelar pasukan Turki, namun personalnya terdiri dari orang-orang Jawa.
2. Ada bagian dari Pasukan Diponoegoro yang disebut Turkiyo. Pasukan ini terdiri dari tentara utusan Turki Utsmani untuk membantu perjuangan masyarakat Jawa dalam menentang penjajahan Belanda.
3. Selain itu ada juga satuan dari Laskar Pangeran Diponegoro yang nampak terpengaruh oleh Turki Utsmani diantaranya Burjumuah, Harkiya, Larban, Nasseran, dan Jagir. Sementara pasukan Diponegoro yang menggunakan tata gelar khas Jawa diantaranya adalah Pinilih, Surapadah, Sipuding, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanangprang.
4. Hierarki kepangkatannya pun sebagian menggunakan aksen Turki antara lain Alibasah (Ali Pasha) yaitu jabatan setara komandan divisi, basah yang setara dengan komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi.
Susiyanto menyarankan kepada mereka yang berpendapat tentang ketiadaan relasi antara Turki dan Indonesia, untuk membaca naskah-naskah klasik warisan leluhur kita sendiri. Beberapa yang bisa direkomendasikan diantaranya Serat Paramayoga karya pujangga Ranggawarsita, Serat Pranitiwakya, Jangka Jayabaya Musasarar, Jangka Jayabaya Syekh Subakir, atau Babad Diponegoro karya Pangeran Diponegoro sendiri. Di sana akan kita temukan bahwa hubungan Turki dan Indonesia di masa lalu sangatlah mesra. Tentu akan sulit mencari nama “Turki” secara tersurat dalam naskah-naskah tersebut, karena para pujangga kita lebih memilih untuk menyebut “Turki” sebagai “Rum” atau “Ngerum”.
“Mari budayakan mengkaji naskah warisan leluhur sehingga kita juga bisa terhubung dengan sejarah mereka,” katanya.
Itulah bukti adanya relasi antara Jawa dan Turki di masa lalu. Susiyanto berpesan agar pada masa sekarang, tanggungjawab untuk membuka ruang kembali bagi kelupaan masa silam terletak di tangan kita. Mau dilanjutkan atau disudahi? [Paramuda/ BersamaDakwah]