Beranda Dasar Islam Hadits Hadits 1: Niat dan Kedudukannya

Hadits 1: Niat dan Kedudukannya

0
ilustrasi hijrah © theguardian.com

Hadits tentang niat ini merupakan hadits pertama dalam Shahih Bukhari, sekaligus hadits pertama dalam kitab كتاب بدء الوحى (Permulaan Turunnya Wahyu).

Matan Hadits

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju”

Penjelasan Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menyampaikannya ketika sedang berada di atas mimbar, yakni mimbar Masjid Nabawi.

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

إِنَّمَا adalah adatul-hashr (untuk membatasi), yakni menetapkan sesuatu yang disebut setelahnya dan menafikan sesuatu yang tidak disebut. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada amal perbuatan yang sah atau sempurna hukumnya kecuali berdasarkan niat. Sedangkan Syaikh Utsaimin dalam Syarah Shahih Al Bukhari mengatakan, setiap manusia berakal yang melakukan suatu perbuatan pasti meniatkannya. Pasti ada niatnya.

بِالنِّيَّاتِ : Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai) dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Niyyaat adalah bentuk jama’ dari kata niyat. Secara etimologi bermakna ‘kehendak’ dan secara terminologi bermakna ‘kehendak yang dibarengi dengan perbuatan nyata’.

Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah, bahwa niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.

Sedangkan masalah niat apakah perlu dilafalkan atau tidak, tidak ada contoh dari Rasulullah mengenai hal tersebut. Namun dalam mazhab Syafi’i dibolehkan dan dianggap bisa menguatkan niat.

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

امْرِئٍ : Manusia, baik laki-laki maupun perempuan

Jika kalimat pertama di atas menunjukkan apa saja yang termasuk amal, maka kalimat kedua ini menunjukkan akibat atau hasil dari amal itu. Kalimat pertama menjelaskan bahwa perbuatan itu harus disertai niat, kalimat kedua ini menegaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan.

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dalam hadits ini tidak terdapat kalimat فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ sebagaimana hadits-hadits lain yang lebih populer dan lebih banyak dihafal umat Islam. Ini dimungkinkan karena riwayat Humaidi sampai kepada Imam Bukhari seperti lafadz hadits di atas. Imam Al-Karmani berkata: “Hadits ini terkadang diriwayatkan secara lengkap dan terkadang tidak, hal itu disebabkan perawi yang meriwayatkannya juga berbeda. Memang setiap perawi telah meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang dia dengar tanpa ada yang dihilangkan, sedang Bukhari menulis riwayat hadits ini sesuai dengan judul yang dibicarakan.”

Memang prinsip Imam Bukhari dalam menulis hadits adalah tidak menulis satu hadits yang berbeda periwayatannya dalam satu tempat. Apabila ada hadits yang mempunyai sanad lebih dari satu, maka ia menulisnya pada tempat yang berbeda pula, dan tidak pernah beliau menulis hadits dengan menghilangkan sebagiannya, sedang pada tempat yang lain beliau menulis secara lengkap. Juga tidak dijumpai satu hadits pun dengan sanad dan matan yang sama dan lengkap ditulis pada beberapa tempat, kecuali sebagian kecil saja, yakni kurang lebih dua puluh tempat.

هِجْرَتُهُ : Hijrah secara etimologi bermakna ‘meninggalkan’ dan secara terminologi bermakna ‘meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam untuk menghindari hal-hal yang buruk.’ Adapun yang dimaksud dengan hijrah dalam hadits ini adalah perpindahan dari kota Makkah dan kota-kota lain ke kota Madinah, sebelum fathu Makkah.

هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا : Untuk mendapatkan keuntungan duniawi

Kata dunya berasal dari ad-dunuw yang berarti dekat. Dinamakan demikian karena dunia lebih dahulu dari pada akhirat atau karena dunia sangat dekat dengan kehancuran/kebinasaan.

إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا : Untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahi

Disebutkannya kata wanita secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahwa bahaya dan fitnah yang ditimbulkan oleh wanita sangat besar. Ini juga berkaitan dengan sababul wurud hadits ini. Imam At-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan sanad yang bisa dipercaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Diantara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”

فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ : Maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia tuju

Seseorang yang melakukan amal ibadah tetapi niatnya bukan karena Allah, tetapi ingin mendapatkan dunia atau wanita maka ia tidak mendapatkan pahala dari Allah. Inilah yang termasuk syirik asghar. Namun dalam konteks hijrah pada hadits ini, jika diniatkan menjauhi kekufuran dan menikahi wanita, hijrahnya kurang sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang tulus. Meskipun, niat menikahi wanita –baik hijrah atau tidak- akan mendapatkan pahala jika pernikahannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.

Hal ini seperti peristiwa masuk Islamnya Thalhah, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa’i dan Anas, ia berkata, “Abu Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam, karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu dari pada Abu Thalhah. Maka ketika melamarnya, Ummu Sulaim berkata, “Aku sudah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya bersedia dinikahi.” Lalu Abu Thalhah masuk Islam dan menikahi Ummu Sulaim.

Namun ulama lain menjelaskan, masuk Islam karena pendekatan apapun -jodoh, merasa dihormati, tersentuh dakwah- semuanya adalah baik. Sedangkan setelah menjadi muslim, maka ia harus meniatkan segala amalnya ikhlas untuk Allah.

Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya.

Mengenai tidak disebutkannya kembali dunya dan mar’ah sehingga kalimatnya menjadi فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ, Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa hal itu menunjukkan kehinaan keduanya sehingga tidak disebut lagi. Sedangkan makna kalimatnya sama: hijrah yang niatnya karena dunia dan wanita, ia hanya menuju/memperoleh dunia dan wanita sesuai niatnya.

Pelajaran Hadits

1. Setiap amal perbuatan harus ada niatnya. Niat tidak harus dilafalkan.
2. Setiap amal tergantung niatnya.
3. Niat merupakan syarat diterimanya amal. Jika niatnya ikhlas, maka ibadah dan amal shalih diterima Allah. Sebaliknya, jika ibadah diniatkan tidak ikhlas, maka tidak diterima Allah.
4. Hadits ini mendorong kita untuk senantiasa berniat ikhlas dalam beramal dan menjaga niat tetap ikhlas

Demikian hadits pertama Shahih Bukhari dan penjelasannya. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/bersamadakwah]

Maraji’: Fathul Baari, Al-Wafi, dan Syarah Shahih Bukhari