Pria itu berasal dari keluarga Islam. Istri yang pertama bernama Tientje van Buren. Istri yang kedua bernama Arsita yang meninggal tanggal 12 Maret 1962. Mereka menikah tahun 1946 dan mempunyai anak bernama Hanibal Jassin dan Mastina Jassin. Usai Arsita meninggal, H.B. Jassin menikah lagi dengan Yuliko pada tanggal 16 Desember 1962. Mereka dianugerahi dua orang anak, yaitu Yulius Firdaus Jassin dan Helena Magdalena Jassin.
Pria bernama Hans Bague Jassin atau yang kita kenal dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia atau buku-buku maupun karya sastra dengan nama HB Jassin.
Paus Sastra Indonesia itu pernah tersandung kasus. Berawal dari sebuah kisah yang berjudul Langit Makin Mendung. Penulisnya adalah Kipanjikusmin dalam majalah Sastra Th. VI No. 8, Agustus 1968, yang dipimpin oleh H.B. Jassin. Penulisan nama pengarang cerpen ini cukup beragam: Ki Pandji Kusmin, Ki Panji Kusmin, Kipandjikusmin, dan Kipanjikusmin. Namun akhirnya mengacu pada penulisan yang ada dalam pledoi Jassin, yaitu Kipanjikusmin.
Artikel itu bercerita tentang perjalanan Nabi Muhammad Saw.bersama Jibril kembali ke bumi untuk mempelajari mengapa belakangan ini semakin banyak umat masuk neraka. Dalam perjalanan. Buraq yang mereka tumpangi bertabrakan dengan sebuah Sputnik Rusia. Buraq dan Sputnik hancur lebur, sementara Nabi Muhammad dan Jibril jatuh ke awan di atas Jakarta.
Dari sana, keduanya mengubah diri menjadi dua ekor elang, berkeliling di atas Jakarta melihat berbagai intrik politik yang melibatkan Perdana Menteri Dr. Soebandrio, Presiden Soekarno yang diberitakan sakit, Duta Besar Republik Rakyat Cina di Jakarta, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum peristiwa G30 S tahun 1965.
Cuplikannya seperti ini: Stasiun Senen dipenuhi kecabulan yang jorok dan jijik. Dari atas atap seng, Muhammad dan Jibril yang mengubah dirinya menjadi sepasang burung elang menyaksikan kekumuhan itu.
“Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang—lagi palang merah, kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah (…) Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot,” begitu keadaannya.
Presiden banyak omong dan banyak bohong. Namun Muhammad dan Jibril melihat rakyat biasa saja. Tak heran dan tak marah. Mereka seperti sudah terbiasa menghadapi presiden yang buka mulut seenaknya. Rakyat itu begitu pemaaf dan baik hati. Kebobrokan pemimpin selalu diterima dengan lapang dada.
Pemerintah dan umat Islam tersinggung dengan tulisan itu, lalu menangkap dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada H.B. Jassin karena menolak mengungkapkan identitas Ki Pandjikusmin.
Hingga saat ini, tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Ki Pandjikusmin. H.B. Jassin membawa rahasia identitas Ki Pandjikusmin sampai ke liang kuburnya.
Meski lacur di mata kalangan Islam, H.B. Jassin malah dinilai menjadi teladan bagi para wartawan profesional di Indonesia. Tentang bagaimana seorang jurnalis memegang teguh janjinya untuk tidak mengungkapkan identitas sumbernya sekalipun harus membayar dengan kemerdekaannya sendiri. Apabila wartawan mengungkapkan identitas narasumbernya kepada polisi, jaksa, atau hakim, maka dia telah mengkhianati kode etik profesinya sendiri. Dia sudah bukan lagi wartawan, melainkan informan polisi.
Menteri Agama sendiri kala itu memberi tanggapan keras, “Tulisan Langit Makin Mendung itu berusaha untuk melenyapkan agama dari muka bumi Indonesia, yang berarti berusaha juga untuk mentorpedir Pancasila dan UUD 45.”
Kejadian yang dialami oleh HB. Jassin bukan tidak mungkin terjadi di masa kini. Keturunan Presiden Pertama RI juga sudah mencontohkan keburukan itu. [@paramuda/BersamaDakwah]