Ibu itu sehari-hari memilih perannya untuk membantu suaminya dalam mengupayakan nafkah. Ia memilih menjadi penjual nasi uduk. Setiap pagi, jika ada modalnya. Namanya juga usaha. Kadang tutup dalam beberapa hari karena modal tidak ada. Keuntungannya terpakai untuk keperluan lain. Atau menanggung rugi lantaran sepinya pembeli. Bukannya saat ini ekonomi memang sedang lesu? Bagi kalangan bawah, tentunya.
Ibu itu, suatu ketika pernah mengomentari keluarga kami. Katanya, “Alhamdulillah ya. Kalian bahagia. Si Mas ternyata shalih. Orang baik. Anak-anak juga bersih-bersih wajahnya. Tumbuh sehat. Juga pintar, dan shalih.”
Saya hanya menunduk. Seraya mengamini. Lantas tersenyum saat melewati depan rumah ibu itu. Moga beliau bahagia di dunia dan akhirat. Begitu pun dengan teman-teman yang berkanan panjatkan doa untuknya.
***
Ibu ini lain lagi. Beliau punya riwayat mistis yang panjang. Pernah berkunjung ke berbagai dukun untuk melakukan konsultasi. Sebabnya, perutnya membesar. Mendadak menjadi buncit. Tentu saja, ia dan keluarganya sangat khawatir.
Kunjungan-kujungan ke berbagai dukun itu, tentu saja tidak gratis. Sampai-sampai, aset satu-satunya yang paling berharga terjual. “Tanah belakang rumahnya dijual. Untuk berobat.” tutur sumber hikayat. Terkonfirmasi. Valid.
Kenapa konyol? Jangan ketawa ya. Saya kasih tahu.
“Setelah diperiksa ke berbagai dukun, nihil. Perutnya tambah membesar. Ia muntah-muntah. Sering merasa mual.” tutur sumber lain.
“Akhirnya, ia pergi ke bidan. Dia dinyatakan hamil. Ya. Hamil.” Pungkas sumber riwayat.
Ibu ini, pernah pula berkata agak berteriak dari teras rumahnya, “Om, kapan mulai ngaji lagi? Anak-anak sudah nanyain. Katanya sudah pingin masuk lagi.”
“Insya Allah segera. Nanti dikabari ya.” jawab kami dengan sepenuh syukur. Alhamdulillah, anaknya sudah ketagihan dan kangen ngaji.
***
Siang tadi, seorang ibu membuat saya berhenti ketika hendak meninggal teras rumah untuk sebuah keperluan sangat penting. “Om,” panggilnya.
Saya berhenti. Menengok, menghadapkan wajah ke arahnya secara sempurna. “Tadi pagi anak saya bangun jam dua. Dia membangunkan saya. Bertanya, ‘Mah, sudah Shubuh atau belum?’ Saya jawab masih lama. Terus dia tidur lagi.”
Saya menyimak dengan cermat. Penasaran dengan kelanjutan kisahnya.
“Rupanya, Om. Dia minta dibangunkan karena mau shalat berjamaah di Masjid. Eh,” pungkasnya, “pas bangun lagi imam masjid sudah baca doa qunut.”
Saya tersenyum. Lalu beranjak melanjutkan langkah.
***
Kita hidup di akhir zaman. Jangan terlalu serius memburu dunia. Sebab dunia itu pergi. Akhirat yang mendekat. Carilah dunia seprofesional mungkin. Dengan niat ibadah. Manfaatkan hasilnya di jalan Allah Ta’ala. Selanjutnya, pikirkan baik-baik, “Bekal apa yang akan kita unggulkan di akhirat kelak?”
Jangan sampai nama kita berhenti dibicarakan sesaat setelah tanah kuburan kita kering.
Wallahu a’lam. [Pirman/Bersamadakwah]