Berdakwah untuk menyeru manusia ke jalan yang benar adalah jalan para nabi dan pengikutnya. Dalam berdakwah ada cara tersendiri yang disesuaikan dengan audiens agar dakwah itu mengena.
Dalam hal ini, rujukannya adalah firman Allah Ta’ala,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Ibnul Qayim mengemukakan penjabaran tentang ayat itu dengan menyatakan, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menerangkan tiga urutan dalam melakukan dakwah yang harus sesuai dengan kondisi obyek dakwah (audiens).
Pertama, obyek dakwah yang menghendaki untuk selalu berada di jalan kebenaran, mencintai kebaikan, serta menjalankannya, setelah dia memahami dan mengetahuinya.
Cara pendekatan terhadap obyek dakwah dengan kualifikasi seperti ini ialah dengan menyampaikan hikmah (teladan yang baik yang penuh kelembutan), bukan dengan mau’izhah (nasihat) atau jidal (adu argumentasi).
Kedua, obyek dakwah yang sudah berada di jalan yang salah, tetapi jika ia mengetahui sebuah kebenaran, pasti dia akan mengikutinya, lalu meninggalkan dan menjauhi kesalahannya.
Cara pendekatan terhadap obyek dakwah dengan kualifikasi ini ialah dengan mau’izhah, yaitu dorongan untuk berbuat baik dan mencegah orang tersebut dari perbuatan dosa.
Ketiga, obyek dakwah yang ingkar dan condong untuk menyangkal kebenaran.
Berdakwah kepada orang tersebut harus menggunakan cara ketiga, yaitu dengan adu argumentasi. Namun demikian, tetap harus mengedepankan kesopanan, tidak dengan berbantahan yang lepas kontrol apalagi menggunakan hawa nafsu.”
Wahai saudaraku!
Variasi metode dakwah dan ragam pendekatan dalam implementasinya merupakan suatu keharusan. Nabi Nuh Alaihissalam merupakan sosok dai yang memanfaatkan semua cara untuk kesuksesan dakwahnya.
Hal ini seperti diterangkan dalam firman Allah Ta’ala,
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا – فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا – وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا – ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا – ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا
“Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran).
Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.
Lalu sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan. Kemudian aku menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam,” (QS. Nuh: 5-9).
Semoga kita termasuk para dai yang sabar dalam berdakwah. Aamiin.
Sebagian tulisan ini dikutip dari kitab Arba’una Darsan Liman Adraka Ramadhan karya Dr. Abdul Malik Al-Qasim
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]