Umar Mukhtar yang dikenal dengan Lion of The Dessert merupakan salah satu mujahid yang gigih membela Islam dan kaum Muslimin dari penjajah kafir. Berjihad di Libya, Umar Mukhtar bersama murid dan penduduk setempat bersatu padu melawan penjajahan bangsa Italia.
Di akhir perjuangannya, saat Umar Mukhtar ditangkap oleh penjajah kafir, ada dialog mencengangkan. Sebuah dialog yang mampu membuat hati orang beriman bergetar lantaran keikhlasan dan keteguhan hati Umar Mukhtar.
“Apakah Anda berperang melawan bangsa Italia?” gertak polisi melakukan introgasi.
“Ya,” tegas Umar Mukhtar singkat.
“Benarkah Anda mengerahkan penduduk untuk memerangi bangsa Italia?” bentak polisi kepada sosok tua yang muda jiwanya ini.
“Ya,” kata Umar tak kalah bertenaganya.
“Tahukah Anda, apa akibat yang akan diperoleh atas perbuatan ini?” uber polisi, bernada menakut-nakuti.
“Ya,” kata Umar gagah, “aku mengetahuinya.”
“Apakah Anda memahami makna kalimat yang baru saja diucapkan?” lanjut polisi, semakin geram.
“Ya,” terang Umar, “saya amat memahaminya.”
“Sejak kapan Anda memerangi bangsa Italia dan mengerahkan masyarakat untuk mendukung misi Anda?” sergah polisi, semakin kalap.
“Sepuluh tahun.” tegas Umar. Tidak gentar.
“Adakah Anda menyesali perbuatan ini?” lanjut polisi dengan bentakan yang semakin kencang.
“Tidak,” jawab Umar. Lugas.
“Apakah Anda tahu akan konsekuensi hukuman mati bagi Anda?” pungkas polisi.
“Ya, saya tahu.”
Akhirnya, didatangkanlah Hakim Pengadilan untuk memberikan keputusan zalim kepada mujahid Umar Mukhtar. Sebelum menyampaikan vonis, Hakim Pengadilan mengajukan tawaran, lalu mengatakan, “Sungguh, aku sangat kasihan melihat dirimu. Aku sangat sedih jika ini menjadi akhir hidupmu.”
“Justru,” kata Umar Mukhtar menangkis kalimat Hakim Pengadilan, “inilah cara terbaik dalam menghadapi kematian. Inilah cara terbaik untuk mengakhiri hidup.”
Jihad. Alangkah mulia. Mujahid. Alangkah beraninya. Berjuang. Alangkah bahagianya. Pejuang. Alangkah bergengsinya.
Mereka inilah manusia-manusia terpilih yang mampu mencium bau surga saat mereka di dunia. Bagi mereka, dunia tak bermakna. Dunia hanyalah lokasi singgah sesaat untuk mengumpulkan bekal dan melanjutkan kehidupan abadi di surga.
Pemahaman inilah yang menjadikan mereka bergegas dalam tiap undangan amal. Mereka bersegera. Tiada kata takut atau gentar. Mereka menyongsong surga dengan harta, tenaga, dan jiwa yang dimilikinya.
Karena itu pula, kisah mereka abadi. Karena itu pula, surga dan bidadari disediakan baginya. Mudah-mudahan kita bisa menggapai derajat mujahid, menjadi bagian dari mereka. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]