Beranda Tazkiyah Dzikir Inilah Keutamaan Majelis Dzikir yang Harus Diketahui

Inilah Keutamaan Majelis Dzikir yang Harus Diketahui

1
Majelis dzikir (republika)

Di antara amalan yang mudah untuk dilakukan adalah berdzikir kepada Allah Ta’ala. Banyak ayat dan hadits yang menerangkan hal itu, baik dzikir secara sendirian maupun berkelompok. Mari kita simak dalil-dalilnya berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka” (QS. Al-Kahfi: 28)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah Ta’ala kecuali para Malaikat mengelilingi mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan turun kepada mereka, Allah menyebut mereka dihadapan siapa yang berada disisi-Nya.”(HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Waqid Al-Harits bin `Auf Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk dalam masjid, dan para shahabat duduk bersamanya. Pada saat itu terdapat tiga orang, dua orang di antaranya menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan satu orang pergi dari sana.”

Abu Waqid berkata, “Kedua orang ini berdiri menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, salah satu dari mereka berdua melihat ada tempat duduk kosong dalam halaqah (tempat duduk) kemudian duduk di sana, dan yang satu lagi duduk di belakang orang-orang tersebut, dan orang yang ketiga tadi pergi.

Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selesai beliau bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلاثَةِ؟ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ، وَأَمَّا اْلآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ، وَأَمَّا اْلآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ

“Maukah kalian aku beritakan siapa tiga orang tadi? Adapun yang satu orang itu dia datang kepada Allah maka Allah melindunginya, dan yang lain merasa malu kepada Allah maka Allah malu padanya, ada pun yang berpaling maka Allah juga berpaling darinya”(Muttafaq Alaih)

Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam bukunya Al-Wabil Ash-Shayyib mengatakan,

“Sesungguhnya majelis-majelis zikir adalah majelisnya para malaikat, adapun majelis yang berbicara masalah dunia di dalamnya bukanlah majelis mereka kecuali disebutkan nama Allah Ta’ala di dalamnya. Sebuah hadits diriwayatkan oleh Abu Sa`id Al-Khudri, ia berkata,

“Mu’awiyah keluar menemui sebuah halaqah (perkumpulan) dalam masjid dan berkata, “Apa yang membuat kalian duduk di sini?”

Orang-orang menjawab, “Kami duduk di sini untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Mua’wiyah berkata, “Demi Allah? Apakah kalian duduk di sini hanya untuk itu?”

Mereka menjawab, “ Demi Allah, kami duduk di sini hanya untuk itu.”

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Bersambung ke Inilah Keutamaan Majelis Dzikir yang Harus Diketahui (Bagian 2)

BARU 1 KOMENTAR

  1. Mengeraskan Suara pada Dzikir Sesudah Shalat
    Nov 22, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScShalat17

    Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?
    Dalil yang Jadi Rujukan
    Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
    أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
    “Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
    Dalam riwayat lainnya disebutkan,
    كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
    “Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
    Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,
    ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
    “Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
    Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,
    فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة
    “Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)
    Pendapat Jumhur
    Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
    Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).” (Fathul Bari, 2: 325-326)
    Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.
    Pijakan Jumhur
    Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
    كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »
    “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.
    Ath Thobari rahimahullah berkata,
    فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى
    “Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135)[1]
    Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 151) berkata,
    وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم
    “Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”
    Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,
    وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
    “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)
    Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, “Do’a jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1: 351)
    Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.
    Faedah dari Syaikhul Islam
    Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman,
    ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
    “Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
    Allah menceritakan tentang Zakariya,
    إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
    “Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
    Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman,
    وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
    “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ
    “Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 468-469)
    Faedah Dzikir dengan Lirih
    Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih:
    Pertama: Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.
    Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.
    Ketiga: Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh dan inti do’a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan do’anya.
    Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]
    Penutup
    Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.
    عَنْ عَائِشَةَ ( وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا ) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ .
    Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no. 6327)
    Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Komentar ditutup.