Wanita muslimah yang mulia pasti menginginkan pahala jihad sebagaimana kaum laki-laki bisa memperolehnya. Itu pula yang diinginkan oleh ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan sejumlah sahabiyah.
Hari itu, beliau meminta ijin kepada Rasulullah untuk ikut berjihad. Lantas apa jawaban Rasulullah? Beliau bersabda:
جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ
“Jihad kalian adalah haji” (HR. Al Bukhari)
Dalam hadits berikutnya yang juga tercantum dalam Shahih Bukhari, istri-istri Rasulullah bertanya tentang jihad bagi wanita. Maka beliau bersabda:
نِعْمَ الْجِهَادُ الْحَجُّ
“Sebaik-baik jihad adalah haji” (HR. Al Bukhari)
Imam Bukhari memberikan judul “Jihad bagi Wanita” untuk dua buah hadits ini. Lantas Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskannya dengan mengutip perkataan Ibnu Bathal: “Hadits Aisyah ini memberikan petunjuk bahwa jihad tidak wajib bagi wanita. Jihad tidak wajib bagi wanita karena menyelisihi apa yang diminta dari mereka; yakni agar para muslimah itu menutup diri dan menghindari kaum laki-laki. Oleh karena itu haji bagi wanita lebih utama dari pada jihad.”
Kita semua tentu punya ibu. Dialah wanita yang paling berjasa bagi kita dan orang pertama di zaman ini yang harus kita hormati. Kita mungkin juga telah memiliki istri; ia pendamping paling setia dalam kehidupan kita. Keduanya –ibu dan istri- adalah wanita yang harus kita muliakan. Wanita yang seharusnya merasakan kebaikan demi kebaikan dari kita.
Ibu, dialah yang telah mengandung dan melahirkan kita. Mengandung selama sembilan bulan yang semakin hari semakin berat dalam kepayahan. Melahirkan dalam kondisi mempertaruhkan nyawa dan kehidupan. Lalu membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, sembari mengorbankan waktu istirahatnya, menentang lelah fisiknya, bahkan rela berlapar-lapar asal cukup asupan gizi kita. Terus menyertai kita dalam doa, tak hilang satu waktu kita dari pikirannya hingga tersita segala hatinya demi masa depan kita. Bahkan setelah kita dewasa, ibu tak hilang peran.
Istri, dialah bidadari dunia yang Allah karuniakan kepada kita. Sebelumnya ia adalah orang lain lalu Allah menjadikannya bersatu dengan kita; dalam visi, dalam cinta dan dalam biduk menuju surga. ia yang sebelumnya bukan siapa-siapa, tiba-tiba selalu mendampingi dalam suka dan duka, penenang jiwa dan penyejuk mata. Ia yang setia menemani kita juga memberikan rahimnya menyemai generasi berikutnya. Lalu ia yang mengasihi anak-anak kita sebagaimana dulu ibu kita mengasihi kita.
Kedua wanita mulia ini –ibu dan istri- sudah selayaknya mendapatkan yang terbaik dari kita. Dan tak ada yang terbaik melebihi bekal utama menuju tempat terbaik, yakni surga. Dan di antara bekal terbaik itu adalah haji, yang disebutkan Rasululullah sebagai sebaik-baik jihad.
Kedua wanita mulia ini -ibu dan istri- mungkin telah memendam keinginan sekian lama untuk berhaji. Dan jika bisa memfasilitasi mereka bisa menunaikan sebaik-baik jihad tersebut, betapa bahagianya.
Maka marilah kita berazzam untuk menunaikan panggilan-Nya, sekaligus menghajikan ibu dan istri kita. Kalaupun belum mampu secara ekonomi, mari kita pasangkan niat sembari berdoa; sebab Allah tak akan menyia-nyiakan doa hambaNya. Ya Allah… mudahkanlah kami berhaji bersama ibu dan istri kami. Allahumma aamiin. [Muchlisin BK/bersamadakwah]