Beranda Kisah-Sejarah Kematian Imam yang Menolak Jabatan Rezim

Kematian Imam yang Menolak Jabatan Rezim

Ilustrasi: Ariel Pilotto on Unsplash


Jabatan strategis itu sangat menggiurkan. Apalagi jika itu sebuah undangan atau permintaan. Namun tak semua mengiyakan.

Nama aslinya An-Nu’man bin Zauthi At-Taimi dan lahir pada tahun 80 hijriyah, di Kufah, Irak. Anak dari kepala suku ini terlanjur dipanggil  dengan Abu Hanifah.  Alasannya karena ia selalu bersama tinta, yang dalam bahasa Irak disebut Hanifah.

Ia gemar bersedekah dan seperti memiliki rumus dalam sedekah. Sejumlah uang dinar yang ia belanjakan untuk keperluan keluarga, sejumlah itu pula ia sedekahkan. Selain itu, ia juga cerdas dalam memahami ilmu syar’i, tegas dalam memilih dan mengambil hadits rujukan. Ia hanya mau mengambil hadits shahih yang diriwayatkan  dari para sahabat dan tidak mau jika diriwayatkan dari para tabiin.

Hal lain yang sangat menonjol dari Imam Abu Hanifah adalah kekuatannya dalam ibadah shalat. Hampir setiap orang yang pernah dekat dengannya selalu mempunyai kesaksian yang sama. Imam Abu Hanifah biasa memiliki wudhu pada shalat Isya dan bertahan hingga waktu shubuh.

Sepanjang waktu antara Isya dan waktu sahur, ia isi dengan shalat dan munajat. Ia hanya tidur sebentar di antara waktu Zuhur dan Ashar. Keluarga dekat menyaksikan hal tersebut dilakukan Imam Abu Hanifah selama kurang lebih empat puluh tahun.

Kehati-hatiannya dengan harta begitu sangat tinggi. Suatu kali ia menghadiahi seorang temannya sehelai baju. Imam Abu Hanifah mewanti-wanti sang teman kalau di salah satu bagian baju itu ada sedikit cacat. Kalau sewaktu-waktu baju itu akan dijual sang teman. Sang imam meminta kepada temannya itu untuk menyampaikan cacat di baju itu kepada si pembeli. Karena sesuatu hal, sang teman Imam Abu Hannah akhirnya memang benar-benar menjual baju tersebut. Sayangnya, ia lupa untuk menyampaikan pesan yang pernah disampaikan sang Imam soal cacat baju itu. ‘Apakah engkau kenal siapa yang membeli baju itu?’ ucap sang Imam kepada temannya. ‘Aku tidak kenal, dan aku lupa ciri-ciri yang membeli baju itu,” jawab sang teman.

Untuk menebus kehati-hatian itu, Imam Abu Hanifah langsung bersedekah sejumlah harga baju yang ia hadiahkan kepada temannya itu. Imam Abu Hanifah kerap menolak dengan tegas tawaran jabatan yang diberikan oleh petinggi khalifah waktu itu.

Pada masa khalifah Al-Manshur, ia menolak tawaran jabatan hakim agung dengan alasan ketidakmampuan dirinya dengan jabatan tinggi itu. Penolakan itu menjadikan sang khalifah marah. Imam pun dipenjara. Juga disiksa. Sepertinya ada pihak-pihak yang menyebarkan hoaks terhadap diri Imam. Menurut sebuah riwayat ia diracun di penjara.

Imam akhirnya meninggal di penjara, pada tahun 150 hijriah. Berkata Yahya bin Nadhr bin Hajib, Abu Hanifah wafat di Baghdad di medio Sya’ban. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku diberitakan bahwa Abu Hanifah wafat dalam keadaan sujud.” [Akhbaar Abu Hanifah wa Ashaabuh, Ashaimary, hal 94]

Tawaran jabatan strategis tak membuat Imam mudah menerima begitu saja. [@paramuda/BersamaDakwah]