Front Pembela Islam (FPI) kerap diidentikkan dengan organisasi masyarakat yang aksinya penuh kekerasan dalam melakukan razia kemaksiatan terutama di bulan Ramadhan. Paling tidak, demikian yang digambarkan oleh media arus utama (mainstream). Benarkah FPI sepenuhnya seperti itu? Benarkah tak ada kontribusi untuk negeri?
Di era teknologi dan informasi tentu kita tidak bisa menelan mentah-mentah hasil gorengan media-media tersebut. Bukankah kita telah diingatkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat tentang jangan menerima kabar begitu saja dari orang fasik? Bukankah kita diminta fa tabayyanu..? Ada banyak cara untuk mencari tahu tentang rekam jejak (track record) ormas yang identik dengan tokoh Habieb Rizieq Shihabnya. Satu diantaranya melalui laman resmi atau lewat jejaring sosial yang mereka kelola baik fanspage Facebook atau kicauan di Twitter.
Dua hari belakangan ini kita bisa saksikan aksi ‘kekerasan’ yang dilakukan FPI. Mereka kerja dengan sangat keras, heroik dan humanis dalam bencana banjir bandang di Garut, Jawa Barat. Seperti diketahui sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah korban akibat banjir bandang di Garut. Korban tewas tercatat ada 23 orang dan 18 masih hilang.
“FPI Garut langsung membuka Posko Relawan Bencana. Siap bantu para korban dan salurkan bantuan. Tim Hilal Merah Indonesia (sayap juang FPI) juga telah turun ke lapangan dan lakukan pendataan pada para korban,” tutur laman media sosial Dewan Pengurus Pusat FPI, Kamis (22/9).
Bahkan, ‘lucunya’ kehadiran mereka ‘diserbu’ oleh warga setempat.
“Pagi-pagi Posko Relawan FPI Garut sudah “diserbu” warga. Pampers, pembalut dan obat-obatan minim,” katanya.
Kalimat tersebut disampaikan sambil menyertakan gambar yang menampakkan para perempuan berduyun menyerbu meja relawan FPI yang di sampingnya berdiri berdus-dus air mineral.
“Ibu-ibu “menyerbu” Posko Relawan FPI. Laskar pasrah,” tulisnya lagi.
Meski demikian, mereka yang sering dicitrakan media sebagai preman berjubah putih tidak menuntut atau meminta media massa untuk meliput kegiatan mereka. Meski kadang ada saja netizen atau media gurem yang genit menggunakan frase “luput dari media”. Seakan menaruh harapan besar agar diliput media, seakan media massa adalah segalanya.
“FPI tidak pernah peduli dengan citra. Masa bodoh orang atau media mau bilang apa. Bagi FPI, ayat suci di atas ayat konstitusi, titik!” terang DPP FPI.
Jika ada permisalan sebuah kasus, misalkan FPI melakukan tindak kekerasan pada korban bencana banjir bandang di Garut, tentu lain bunyinya. FPI akan diliput media dan roket beritanya mengalahkan kasus sianida yang berlarut-larut, mbulet, dan merampok frekuensi publik–serta tak ada kaitan dengan stabilitas negeri ini.
Suka tidak suka, FPI merupakan bagian dari entitas Indonesia. Mereka sedang berbuat untuk maslahat, tentu kita sepakat. Dan kita tidak sepakat dengan beragam aksi kekerasan sekalipun berlabel agama, namun kita harus adil dalam bersikap. Paling tidak dimulai dari pikiran. [Paramuda/ BersamaDakwah]