Beranda Kisah-Sejarah Kisah Sahabat Suatu Kondisi yang Pernah Membuat Sahabat Nabi Enggan Beramal Shalih

Suatu Kondisi yang Pernah Membuat Sahabat Nabi Enggan Beramal Shalih

1
ilustrasi: www.republika.co.id

Di balik kemuliaan dan kelebihannya, para sahabat Nabi adalah manusia biasa seperti kita. Bedanya, mereka memiliki segudang prestasi, limpahan kebaikan, dan teladan yang amat layak diikuti. Keburukan dalam diri mereka tenggelam, dan tak layak dibesar-besarkan oleh siapa pun generasi setelahnya.

Maka kelompok yang hobi mencaci maki para sahabat, mereka dihukumi sesat dan tak layak menjadi bagian dari umat yang mulia ini.

Dalam rangkaian perang Khandaq yang strateginya dicetuskan oleh sahabat mulia Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu dari Persia, kaum Muslimin diramalkan akan tamat. Jumlah sedikit, dikepung dari berbagai sisi, diserang dari dalam dengan pemberontakan. Jika bukan karena Pertolongan Allah Ta’ala yang menurunkan malaikat dan ketajaman insting strategi perang, kaum Muslimin tidak bisa berharap banyak.

Kondisi semakin parah saat Madinah dicekam cuaca ekstrim. Sedikitnya bahan makanan menjadi soalan utama. Bahkan, Nabi yang sangat mulia derajatnya itu harus mengganjal perutnya dengan batu. Demi menahan lapar.

Ditambah lagi dengan momen ketika sahabat Nabi enggan beramal, padahal mereka sangat terkenal dengan gegas dalam kebaikan, terjadi di malam hari. “Adakah yang bersedia mencari berita tentang musuh dan melaporkannya kepadaku?” tawar Nabi dengan lembut, namun bertenaga. Bukan tanpa imbalan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam melanjutkan, “Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan dia (yang mau menjadi intelejen kaum Muslimin) bersamaku pada Hari Kiamat.”

Biasanya,  para sahabat berebut. Sedianya, mereka bergegas sebelum diperintah. Tapi malam itu, semuanya diam. Tidak ada yang menyahut, bahkan cenderung berdiam, enggan ditunjuk.

Lalu, sang manusia mulia ini menyebut sebuah nama. “Bangkitlah,” seru Nabi yang mulia, “wahai Hudzaifah. Carilah berita (tentang musuh) dan laporkanlah kepadaku.”

Disebut namanya, meski begitu banyak alasan manusiawi untuk enggan atau beralasan, Hudzaifah bin Yaman segera bergegas. “Tidak boleh tidak,” tutur Hudzaifah, “aku harus bangkit karena beliau menyebut namaku.”

Hudzaifah pun bergegas. Dia membawa perintah Nabi untuk tidak melakukan apa pun, selain memata-matai. Maka tatkala dia memiliki kesempatan membunuh Abu Sufyan di malam yang dinginnya mencekam itu, Hudzaifah tetap teguh. Baginya, perintah Nabi haram dilanggar.

Inilah sekilas fragmen mengagumkan tentang ketaatan murni kepada pemimpin yang taat kepada Allah Ta’ala. Dan menjadi lain jika sang pemimpin, ternyata justru melanggar seruan-Nya.

Kira-kira, jika kita berada di sana, adakah kita bergegas menyambut seruan Nabi? Sedangkan kini, hujan sedikit saja, kita amat malas beranjak ke masjid dan majlis taklim dengan ragam alasa yang diada-adakan.

Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]

BARU 1 KOMENTAR

Komentar ditutup.