Dalam perjalanan menuju rumah sepulangnya dari kajian pekanan, di dalam mobil teman yang sedang menyetir bercerita tentang cerita pribadinya.
“Istri saya saat ini memakai cadar,” katanya.
Pandangannya dari depan beralih ke penulis, “Istri kedua saya,” lanjutnya senyum berseri.
Penulis terkejut dengan wajah “wow” dan berucap syukur hamdalah. Penulis sudah tahu bahwa sang teman ini sudah lama membangun istana kedua, setelah istana pertamanya makin ramai dengan anak sejumlah empat orang. Mereka hidup bahagia dengan itu.
Ia bercerita dengan penuh antusias dan tampak bahagia. Keputusan untuk bercadar disampaikan kepadanya dengan tiba-tiba. Ia menyambut dengan baik keputusan tersebut, bahkan sangat mendukung. Sebab paras cantiknya masih kerap digoda lelaki lain padahal sudah memiliki anak dan bersuami.
Istri keduanya memutuskan bercadar karena belakangan makin intens ikut pengajian salafi dan setiap pekan sekali juga ikut mengaji tarbiyah.
“Sejak saat pakai cadar ia makan lembut dan emosinya terkelola dengan baik,” tuturnya.
Sebagai contoh, katanya, ketika istri keduanya mau berkunjung ke rumah orangtuanya di Bandung, istrinya tidak memaksakan diri bahwa suaminya harus ikut. “Jika mas sibuk tidak harus ikut kok. Aku bisa sendiri,” katanya. Padahal biasanya ia cenderung merajuk.
Banyak perubahan sikap lain ketika istri keduanya memutuskan bercadar. Namun begitu, bukan berarti istrinya terbebas dari yang namanya fitnah lelaki.
“Ia pernah digoda sama tukang sayur, lho. Heran, padahal sudah memakai cadar!” katanya.
Sebagai suami, ia mendapat ilmu baru bahwa cadar adalah bagian dari sunnah. Sebagian pendapat ulama lain memubahkan meski tidak mewajibkan.
Lebih jauh, sang teman memberikan contoh sebuah kasus tentang perempuan bercadar dari sebuah kelompok ‘manhaj’ lain. Memiliki contoh yang suu’.
Suatu kali seorang istri, membuka ponsel suaminya. Dan memulai untuk login akun jejaring sosial. Di sebuah pesan, ada kotak masuk dari seorang muslimah bercadar. Yang bicara genit lagi menggoda. Lalu dinasihatilah perempuan itu agar tidak menggoda dan menjaga akhlak sebagai muslimah apalagi dengan mahkota bernama cadar.
Cadar memang tentang pilihan. Juga sebagai salah satu ekspresi kebebasan seorang muslimah. Hanya saja, ketika ada proses taaruf sesama muslimah baik yang bercadar maupun non-cadar untuk membuka ‘tirai’nya.
“Waktu istri ada kopdar antar niqober, ada proses taaruf. Sayangnya dalam proses tersebut tidak ada sesi buka niqob,” kisah teman.
Ustadz Bahasa Arab penulis suatu titimangsa pernah menjemput istrinya yang sedang pengajian di masjid. Ustadz mengambil motor di parkiran, lalu mendekati perempuan bercadar hitam di depan gerbang masjid.
“Ayo naik!” kata Ustadz.
Muslimah tersebut justru tak segera naik dan hanya menggeleng. Sementara di ujung sana ada seorang muslimah bercadar yang tertawa cekikikan. Ahai, ternyata ia salah penumpang.
Sang teman masih menyetir mobilnya dan ia makin cinta dengan kedua istrinya. Istri pertama dan kedua karena mereka makin dekat dengan Allah SWT. [Paramuda/BersamaDakwah]